Silsilah di atas
dikutip dari penelitian sejarawan Hasan Djafar, yang mungkin akan sedikit
berbeda dengan catatan yang akan saya bagikan di bawah ini. Masih ada hubungan
dengan catatan yang saya posting sebelumnya, mengenai naskah asli Pararaton, catatan
berikut ini adalah kajian mendalam tentang naskah tersebut. Artkel ini ditulis
oleh NIA KURNIA SHOLIHAT IRFAN, dan saya ambil dari alamat http://irfananshory.blogspot.com/2008/07/pararaton-revisited.html,
yang saya sajikan secara utuh untuk menjadi bahan pengetahuan bersama.
Selamat membaca!
PARARATON REVISITED : Suatu Penafsiran Baru
Mengenai Keluarga Raja-Raja Majapahit
SEJAK akhir abad
ke-19, setelah penemuan naskah Pararaton yang menguraikan keluarga raja-raja
Majapahit, para ahli sejarah mulai menyusun sejarah kerajaan Hindu terbesar di
Jawa itu secara ilmiah, sebab data Pararaton ternyata banyak yang sesuai dengan
prasasti-prasasti dari zaman Majapahit. Sayangnya, uraian Pararaton mengenai
keluarga raja-raja Majapahit sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan
kadang-kadang membingungkan, sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan
menafsirkannya. Itulah sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang rekonstruksi
sejarah Majapahit belumlah tuntas. Tulisan ini khusus membahas hubungan
kekeluargaan dinasti Majapahit dan diharapkan dapat menjembatani perbedaan
penafsiran naskah Pararaton di kalangan para ahli sejarah.
Terlebih dahulu kita
catat daftar raja-raja Majapahit. Raja pertama, Kertarajasa Jayawardhana Dyah
Sanggramawijaya yang dikenal dengan Raden Wijaya (1294–1309), digantikan
putranya, Jayanagara Raden Kalagemet (1309-1328). Jayanagara digantikan adik
wanitanya, Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja (1328–1350). Lalu tahta
kerajaan diwarisi putra Tribhuwana, Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk (1350–1389).
Hayam Wuruk digantikan keponakan dan menantunya, Wikramawardhana Hyang Wisesa
(1389–1429). Setelah itu naik tahta putri Wikramawardhana, Prabhu Stri Dyah
Suhita (1429–1447). Selanjutnya Suhita digantikan adiknya, Wijayaparakramawardhana
Dyah Kertawijaya (1447–1451). Kemudian tahta Majapahit secara berturut-turut
diwarisi oleh tiga orang putra Kertawijaya: Rajasawardhana Dyah Wijayakumara
Sang Sinagara (1451–1453); Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa
(1456–1466); serta Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1478).
Majapahit tiga kali
mengalami pertikaian tahta di antara keluarga kerajaan. Pertikaian pertama
berlangsung 30 tahun (1376–1406) ketika kadaton wetan memisahkan diri dari
pusat pemerintahan. Pertikaian kedua terjadi pada tahun 1453-1456 sehingga
Majapahit tidak mempunyai raja selama tiga tahun. Pertikaian terakhir tahun
1468–1478 menyebabkan keruntuhan Majapahit.
Penafsiran data
Pararaton harus didasari pemahaman terhadap konsep kosmogoni Siwa-Buddha yang
menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan Gunung Mahameru tempat kediaman
Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga Majapahit menamakan diri mereka
Girindrawangsa, dan berabad-abad sebelumnya keluarga Sriwijaya juga mengklaim
sebagai Sailendrawangsa, yang sama-sama berarti ‘Keluarga Gunung Indra’. Pusat
kerajaan Majapahit (di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah
bawahan (mandala-mandala) yang meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu
Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan.
Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr.Boechari, “While the kingdom is compared
with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is thought to be Indra on earth,
and that the eight Lokapala are incorporated in his nature” (MIISI, V/1, 1973).
Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri,
Panjalu), merupakan poros yang menyangga kestabilan sistem, dan hal ini sudah
dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi
wilwatikta-janggala-kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam
prasasti-prasasti.
Sebagai kepala
pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu)
atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre)
dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan
sebagainya. (Gelar apanage semacam ini sekarang masih berlaku di Kerajaan
Inggris: suami Ratu Elizabeth diberi gelar Duke of Edinburgh, sedangkan putra
mereka bergelar Prince of Wales.) Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre
Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre
Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre
Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang
pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan
and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the
royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga
kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre
Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.
PERIODE AWAL
MAJAPAHIT (1294–1375)
Kertarajasa
Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya, yang naik tahta pada tahun 1294, beristri
empat putri Kertanagara (raja terakhir Singasari), yaitu Tribhuwaneswari,
Mahadewi, Jayendradewi, Rajapatni Gayatri. Kertarajasa juga beristri Dara Petak
Sri Indreswari, putri dari Malayu. Dari Gayatri, Kertarajasa memperoleh dua
putri: Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja dan Rajadewi
Maharajasa Dyah Wiyat. Putri-putri Kertanagara yang lain tidak berketurunan.
Dari Dara Petak, Kertarajasa berputra Bhre Daha(I) Jayanagara Raden Kalagemet,
yang diakui sebagai putra permaisuri Tribhuwaneswari. Setelah Kertarajasa wafat
tahun 1309, Jayanagara menjadi raja Majapahit, dan gelar Bhre Daha(II)
disandang oleh Rajadewi.
Ketika Jayanagara
wafat tanpa keturunan tahun 1328, Tribhuwana menjadi ratu Majapahit. Dia
bersuami Bhre Tumapel(I) Kertawardhana Raden Cakradhara, dan memperoleh
sepasang putra-putri: Bhre Kahuripan(II) Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk dan Bhre
Pajang(I) Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja. Kertawardhana dari selir juga
berputra Raden Sotor. Adapun Bhre Daha(II) Rajadewi bersuami Bhre Wengker(I)
Wijayarajasa Raden Kudamerta, dan memperoleh putri Bhre Lasem(I) Rajasaduhita
Indudewi. Wijayarajasa dari selir juga berputri Sri Sudewi Padukasori.
Pada tahun 1350 Hayam
Wuruk menggantikan sang ibunda di atas tahta Majapahit, dan Tribhuwana kembali
bergelar Bhre Kahuripan(I). Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, dan berputri Bhre
Kabalan(I) Kusumawardhani. Dari selir, Hayam Wuruk memperoleh seorang putra
yang tidak jelas namanya. Bhre Pajang(I) Dyah Nartaja bersuami Bhre Paguhan(I)
Singawardhana Raden Sumana, memperoleh satu putra dan dua putri: Bhre
Mataram(I) Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi(I) Nagarawardhani, dan Bhre Pawanawan
Surawardhani atau Rajasawardhani. Adapun Bhre Lasem(I) Indudewi bersuami Bhre
Matahun(I) Rajasawardhana Raden Larang. Oleh karena pasangan ini tidak
berketurunan, mereka mengadopsi putra Hayam Wuruk dari selir.
Kemudian terjadilah
pernikahan antar sepupu: Kusumawardhani bersuami Wikramawardhana;
Nagarawardhani bersuami putra Hayam Wuruk dari selir; dan Surawardhani bersuami
Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala Raden Sumirat, putra Raden Sotor. Setelah Bhre
Daha(II) Rajadewi dan Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana wafat antara tahun 1372 dan
1375, terjadilah rotasi gelar: Indudewi menjadi Bhre Daha(III); Nagarawardhani
menjadi Bhre Lasem(II), dan suaminya menyandang gelar Bhre Wirabhumi(II).
Adapun gelar Bhre Kahuripan(III) paling layak diwarisi putra mahkota Wikramawardhana,
meskipun hal ini tidak disebutkan dalam Pararaton.
Wikramawardhana dan
Kusumawardhani memperoleh tiga putra dan satu putri: putra sulung Bhre
Mataram(II) Rajasakusuma yang mewarisi gelar ayahnya, putra kedua yang tidak
jelas namanya, putri Suhita, dan putra bungsu Kertawijaya. Ranamanggala dan
Surawardhani memperoleh satu putra dan dua putri: Ratnapangkaja yang menjadi
suami Suhita, putri sulung yang menjadi istri putra kedua Wikramawardhana, dan
putri bungsu Jayeswari yang menjadi istri Kertawijaya. Bhre Wirabhumi(II) dan
Nagarawardhani memperoleh putra Bhre Pakembangan yang wafat dalam ‘perburuan’
(ketika berburu di hutan ataukah ketika menjadi buronan politik?) serta tiga
orang putri.
PERIODE KADATON WETAN
(1376–1406)
Pertikaian tahta mulai
terjadi ketika muncul kerajaan separatis yang dalam Pararaton disebut kadaton
wetan (istana timur), untuk membedakannya dari kerajaan Majapahit yang disebut
kadaton kulon (istana barat). Hal ini diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat
tumuli hana gunung anyar i saka 1298 (“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka
= 1376 Masehi”). Oleh karena ‘gunung’ melambangkan tahta kekuasaan, informasi
ini mengisyaratkan munculnya kerajaan baru.
Kerajaan tandingan
ini tercatat dalam kronik Cina Ming-shih (Sejarah Dinasti Ming). Kronik
Ming-shih menerangkan dua rombongan utusan dari Jawa tahun 1377, yang
diterjemahkan Willem Pieter Groeneveldt sebagai berikut: “In this country there
is a western and an eastern king. The latter is called Wu-lao-wang-chieh and
the former Wu-lao-po-wu. Both of them sent envoys with tribute”. Para ahli
sejarah tidak sulit mengenali tokoh kerajaan barat, Wu-lao-po-wu, sebagai
‘Bhatara Prabhu’, yaitu raja Hayam Wuruk. Akan tetapi baru pada tahun 1964
Prof.George Coedes mampu mengidentifikasi tokoh kerajaan timur,
Wu-lao-wang-chieh, sebagai ‘Bhatara Wengker’.
Bhre Wengker pada
zaman Hayam Wuruk adalah Wijayarajasa, suami Rajadewi bibi Hayam Wuruk.
Wijayarajasa juga mertua Hayam Wuruk sebab merupakan ayah dari permaisuri Sri
Sudewi. Dari kitab Nagarakretagama yang ditulis pujangga Prapanca tahun 1365
kita memperoleh gambaran bahwa Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk
berkuasa. Setelah Patih Gajah Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya
Tribhuwana dan Rajadewi antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya
sebab tokoh-tokoh yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia
memproklamasikan kadaton wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya
Majapahit dan kadaton wetan sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di
Cina.
Di manakah letak
kadaton wetan? Menurut Pararaton dan prasasti Biluluk, Wijayarajasa bergelar
Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di Pamotan). Oleh karena kata
muwat bersinonim dengan nanggung, maka Pamotan (Pamuwatan) barangkali adalah
Gunung Penanggungan di sebelah timur Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya
sengaja memilih tempat itu menjadi pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan
separatisnya. Daerah Penanggungan atau Pamotan merupakan tempat suci raja
Airlangga, sehingga Wijayarajasa kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan
negara baru itu mengikuti tradisi Airlangga yang pernah membagi dua
kerajaannya.
Adanya kadaton wetan
menyebabkan keluarga Majapahit pecah menjadi dua kelompok. Sebagian besar tetap
setia kepada Hayam Wuruk. Akan tetapi mereka yang berkerabat dengan
Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton wetan, yaitu Bhre Daha(III)
Indudewi dengan suaminya Bhre Matahun(I) Raden Larang, dan anak angkat mereka
Bhre Wirabhumi(II) dengan istrinya Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga
orang putri Bhre Wirabhumi(II). Hayam Wuruk segan bertindak tegas menghadapi
negara separatis itu sebab Wijayarajasa adalah mertuanya, Indudewi adalah
sepupunya, dan Bhre Wirabhumi(II) adalah putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh
senior masih hidup, kadaton kulon dan kadaton wetan saling menenggang rasa
sehingga konfrontasi terbuka dapat dihindari.
Akan tetapi keadaan
seperti itu tidaklah dapat dipertahankan setelah para tokoh senior meninggal
dunia. Pada tahun 1386 Kertawardhana (ayah Hayam Wuruk) wafat. Dua tahun
berikutnya, 1388, wafat pula secara berturut-turut permaisuri Sri Sudewi, Dyah
Nartaja (adik Hayam Wuruk) dan suaminya Raden Sumana. Dua tokoh kadaton wetan,
Raden Larang dan Wijayarajasa sendiri, juga wafat. Akhirnya mangkat pula raja
Hayam Wuruk tahun 1389.
Wikramawardhana
menjadi raja Majapahit dan kemudian dikenal dengan Hyang Wisesa, sedangkan
tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(IV)
disandang Surawardhani, dan putra kedua Wikramawardhana digelari Bhre
Tumapel(II). Suhita dan suaminya, Ratnapangkaja, masing-masing kiranya menjadi
Bhre Pajang(II) dan Bhre Paguhan(II), meskipun tidak disebutkan dalam
Pararaton. Wikramawardhana bertindak konfrontatif terhadap kadaton wetan dengan
memberikan gelar Bhre Lasem (padahal sedang disandang adiknya, Nagarawardhani)
kepada permaisurinya, Kusumawardhani. Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut
Bhre Lasem Yang Cantik (Sang Ahayu) dan Nagarawardhani disebut Bhre Lasem Yang
Gemuk (Sang Alemu).
Putra mahkota
Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha.
Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, Bhre Lasem(III)
Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV) Surawardhani, dan Bhre Pandansalas(I)
Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi gelar bagi yang muda. Ratnapangkaja
menjadi Bhre Kahuripan(V), dan adiknya, istri Bhre Tumapel(II), menjadi Bhre
Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden Jagulu, adik
Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre Lasem(IV)
masing-masing diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III). Satu-satunya
tokoh senior yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III) Indudewi yang
mendampingi anak angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton wetan.
Konfrontasi antara
Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi(II) akhirnya menimbulkan Perang Paregreg
tahun 1405–1406. Kadaton wetan mengalami kekalahan dengan gugurnya Bhre
Wirabhumi(II), sehingga Majapahit utuh kembali setelah pecah 30 tahun. Untuk
menghilangkan benih balas dendam, tiga putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing
dinikahi oleh Wikramawardhana, Bhre Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre
Wengker(II) cucu Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar
Bhre Mataram(III), Bhre Lasem(V), dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu
pernikahan yang sangat unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga
generasi!
PERIODE PASCA
PAREGREG (1406–1453)
Seusai Perang
Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi diboyong pulang oleh Wikramawardhana ke
Majapahit dan dihormati sebagai sesepuh. Saudara sepupu Hayam Wuruk ini wafat
tahun 1415 bersama-sama Bhre Mataram(III) dan Bhre Matahun(II). Gelar Bhre
Daha(IV) paling layak diwarisi oleh Suhita, dan adiknya, Kertawijaya, kiranya
menjadi Bhre Mataram(IV). Istri Kertawijaya, Jayeswari, pantas menjadi Bhre
Kabalan(II).
Bhre Tumapel(II) dan
putranya, Bhre Wengker(II), wafat tahun 1427. Dua tahun kemudian, 1429, mangkat
pula raja Wikramawardhana, dan Suhita menjadi ratu Majapahit. Kertawijaya
menjadi Bhre Tumapel(III), sedangkan gelar Bhre Daha(V) diwarisi Jayeswari.
Sekitar tahun 1430 wafat pula Bhre Lasem(IV), Bhre Lasem(V), dan Bhre
Pandansalas(II). Oleh karena Suhita tidak berketurunan, maka yang mewarnai
sejarah Majapahit selanjutnya adalah keturunan Bhre Tumapel(II) dan Bhre
Tumapel(III) Kertawijaya.
Bhre Tumapel(II)
dengan istrinya Bhre Lasem(V) mempunyai tiga putri dan satu putra: Bhre
Jagaraga Wijayendudewi Dyah Wijayaduhita, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani
Dyah Suragharini, Bhre Pajang(III) Dyah Sureswari, dan putra bungsu Bhre
Keling(I). Bhre Jagaraga dinikahi Ratnapangkaja, sedangkan Bhre Tanjungpura dan
Bhre Pajang(III) menjadi istri Bhre Paguhan(III). Bhre Keling(I) beristri Bhre
Kembangjenar Rajanandaneswari Dyah Sudharmini, putri Bhre Pandansalas(II) Raden
Jagulu. Menurut Pararaton, semua pernikahan di atas tidak membuahkan keturunan.
Bhre Tumapel(III)
Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya dengan istrinya Bhre Daha(V)
Jayawardhani Dyah Jayeswari mempunyai tiga putra, yaitu Bhre Pamotan(I)
Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Bhre Wengker(III) Girisawardhana Dyah
Suryawikrama, dan Bhre Pandansalas(III) Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa.
Setelah Bhre Paguhan(III) wafat tahun 1440, Rajasawardhana menikahi Bhre
Tanjungpura Manggalawardhani. Girisawardhana beristri Bhre Kabalan(III)
Mahamahisi Dyah Sawitri, putri Bhre Wengker(II) dengan Bhre Matahun(II).
Suraprabhawa menikahi Bhre Singapura Rajasawardhanidewi Dyah Sripura, putri
Bhre Paguhan(III) dari selir.
Bhre Kahuripan(V) dan
Bhre Keling(I) wafat tahun 1446. Rajasawardhana menjadi Bhre Keling(II).
Setelah ratu Suhita mangkat tahun 1447, Kertawijaya mewarisi tahta Majapahit,
dan gelar Bhre Tumapel(IV) disandang Suraprabhawa. Rajasawardhana yang kini
putra mahkota kembali bertukar gelar menjadi Bhre Kahuripan(VI) dan kelak
dikenal dengan julukan Sang Sinagara. Daftar keluarga Majapahit pada masa
Kertawijaya tercantum lengkap dalam prasasti Waringin Pitu tahun 1447.
Pararaton menyebutkan
bahwa putra-putra Sang Sinagara ada empat orang. Dalam prasasti Waringin Pitu
tercantum nama-nama putra pertama dan kedua, yaitu Bhre Matahun(III)
Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya serta Bhre Keling(III) Girindrawardhana Dyah
Wijayakarana. Putra ketiga dan keempat belum lahir pada tahun 1447. Menurut
prasasti Waringin Pitu, Samarawijaya dan Wijayakarana sejak kecil dijodohkan
masing-masing dengan Bhre Wirabhumi(III) Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari
dan Bhre Kalinggapura Kamalawarnadewi Dyah Sudayita, yaitu putri-putri Bhre
Wengker(III) Girisawardhana dengan Bhre Kabalan(III) Sawitri.
Bhre Kabalan(III)
Sawitri dan Bhre Pajang(III) Sureswari wafat tahun 1450. Setahun kemudian
mangkat pula raja Kertawijaya, dan Rajasawardhana naik tahta Majapahit tahun
1451. Gelar Bhre Kahuripan(VII) diwarisi putra mahkota Samarawijaya, sedangkan
adiknya, Wijayakarana, menjadi Bhre Mataram(V). Kiranya saat itu putra ketiga
dan keempat Rajasawardhana sudah lahir, yang masing-masing menyandang Bhre
Pamotan(II) dan Bhre Kertabhumi. Nama-nama dua orang yang terakhir ini
tercantum dalam prasasti Trailokyapuri, yaitu Singawardhana Dyah Wijayakusuma
dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
PERIODE AKHIR
MAJAPAHIT (1453–1478)
Ketika Rajasawardhana
Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre
Kahuripan(VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker(III) Girisawardhana. Kemelut paman
dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung
tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456
tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya
Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya,
dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre
Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.
Bhre Daha(V)
Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha(VI) disandang Manggalawardhani.
Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja Girisawardhana wafat pula tahun
1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.
Adik bungsu Sang
Sinagara, Bhre Tumapel(IV) Suraprabhawa, ternyata berambisi juga menjadi raja.
Dia menduduki tahta Majapahit. Sudah tentu para keponakannya sakit hati. Baru
saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468,
keempat putra Sang Sinagara memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari
istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre
Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre Mataram(V) Wijayakarana, Bhre Pamotan(II)
Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi Ranawijaya. Mereka menyingkir ke
Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk
merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing
Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan).
Pada tahun 1478 Sang
Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam
penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu
terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup uraian sejarah Majapahit dengan kalimat
kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka,
sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).
Ungkapan mokta ring
kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh.
Jika kematiannya wajar, tentu dipakai kalimat yang berbau surga, misalnya mokta
ring wisnubhawana, mokta ring somyalaya, dan semacamnya. Raja Jayanagara yang
terbunuh tahun 1328 diungkapkan Pararaton dengan istilah mokta ring pagulingan
(‘mangkat di tempat tidur’). Kiranya Suraprabhawa bernasib serupa. Raja
terakhir Majapahit ini gugur di istana ketika bertempur melawan para
keponakannya.
Kemenangan
putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang
Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan kadigwijayanira sang
munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang
Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan
(‘naik-jatuh’) berarti meraih kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran (won
the war but lost the battle).
KERAJAAN KELING DAN
DAHA (1478–1527)
Sesudah Majapahit
runtuh tahun 1478, tiga orang adik Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana,
Wijayakusuma, dan Ranawijaya, mendirikan kerajaan baru di Keling (antara
Mojokerto dan Kediri sekarang). Mereka bertiga secara berturut-turut menjadi
raja dengan gelar Sri Maharaja Bhatara Keling. Mula-mula Girindrawardhana Dyah
Wijayakarana bertahta (1478–1486), dan setelah wafat berjuluk Sang Mokta ring
Amertawisesalaya. Dia digantikan oleh Singawardhana Dyah Wijayakusuma yang
memerintah mungkin hanya beberapa bulan, lalu mendadak wafat dan berjuluk Sang
Mokta ring Mahalayabhawana. Akhirnya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menjadi
raja (1486–1527), yang dikenal sebagai Bhatara Wijaya atau Brawijaya.
Ranawijaya
mengeluarkan prasasti Petak dan Trailokyapuri tahun 1486. Prasasti Petak
menceritakan kemenangan Sang Munggwing Jinggan melawan Majapahit. Prasasti
Trailokyapuri menguraikan upacara sradha mengenang 12 tahun wafatnya Bhatara
Daha Sang Mokta ring Indranibhawana, ibunda Ranawijaya (janda Sang Sinagara),
yaitu Bhre Daha(VI) Manggalawardhani Dyah Suragharini yang wafat tahun 1474.
Pada tahun 1513,
pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di
Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma
Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu
adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang
menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari
Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat
setia kepada Batara Vigiaya.
Uraian Tome Pires
bahwa Batara Mataram menjadi raja menggantikan Batara Sinagara jelas tidak
benar. Sang Sinagara wafat tahun 1453, sedangkan Bhre Mataram Wijayakarana naik
tahta tahun 1478 setelah dia dan saudara-saudaranya meruntuhkan Majapahit.
Tetapi uraian Tome Pires mudah kita pahami, sebab dia memperoleh informasi dari
pihak Ranawijaya. Putra-putra Sang Sinagara tentu beranggapan bahwa paman-paman
mereka, Girisawardhana dan Suraprabhawa, ‘kurang sah’ menjadi raja.
Tome Pires mengatakan
Batara Vigiaya bertahta di Daha. Ini berarti antara tahun 1486 dan 1513
(sekitar tahun 1500) Ranawijaya memindahkan pusat kerajaan dari Keling ke Daha.
Menurut Tome Pires, Batara Vigiaya hanyalah raja boneka, sebab kekuasaan negara
dipegang mertuanya, Guste Pate Amdura. Persahabatan Guste Pate dengan Portugis
membuat marah Pate Rodin Senior, raja Demak yang merupakan musuh Portugis. Pate
Rodin Senior mempunyai putra Rodin Junior dan mempunyai menantu Pate Unus yang
pernah menyerang benteng Portugis di Malaka. Yang disebut Pate Rodin Senior,
Pate Unus, dan Rodin Junior oleh Tome Pires tiada lain adalah sultan-sultan
Demak: Raden Patah (1481–1518), Pangeran Sabrang Lor Adipati Yunus (1518–1521),
dan Raden Trenggana (1521–1546). Kesultanan Demak menaklukkan Daha tahun 1527
pada masa pemerintahan Trenggana, sehingga berakhirlah zaman kerajaan Hindu di
Jawa Timur.
ISLAM DAN MAJAPAHIT
Masyarakat Islam
sudah eksis di Jawa Timur sejak abad ke-11, dua abad sebelum berdirinya
Majapahit. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan nisan bertuliskan huruf Arab yang
menerangkan wafatnya Fatimah binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijri (2 Desember
1082). Beberapa istilah bahasa Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacasraya
gubahan Mpu Panuluh, pujangga kerajaan Panjalu abad ke-12. Pemakaman kuno di
Tralaya, lokasi bekas keraton Majapahit, dipenuhi batu nisan yang bertuliskan
huruf Arab, dan ada yang dilengkapi kutipan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tiga buah
makam berasal dari zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh 1290, 1298
dan 1302 Saka (1368, 1376 dan 1380 Masehi). Hal ini merupakan bukti nyata bahwa
agama Islam sudah dianut oleh sebagian penduduk ibukota Majapahit pada masa
kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya.
Sebuah makam
bertarikh 1370 Saka (1448) dikenal masyarakat sebagai makam Putri Cempa yang
beragama Islam. Mungkin ini ucapan lidah Jawa untuk “Putri Jeumpa” yang
menyatakan asal putri itu dari Aceh Serambi Mekkah. Menurut Babad Tanah Jawi,
Putri Cempa adalah permaisuri Brawijaya. Istilah ‘Brawijaya’ (singkatan dari
Bhatara Wijaya) harus kita cermati, sebab ada tujuh orang keluarga Majapahit
yang namanya memakai kata wijaya, yaitu Sanggramawijaya (raja pertama),
Kertawijaya (raja ke-7), Wijayakumara (Sang Sinagara, raja ke-8), serta
putra-putra Sang Sinagara: Samarawijaya, Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya.
Jika cerita tentang Putri Cempa ini benar, barangkali dia adalah selir
Kertawijaya (1447–1451), sebab sang permaisuri adalah Bhre Daha(V) Jayeswari.
Babad Tanah Jawi yang
ditulis pada masa kesultanan Mataram menerangkan tujuh raja Majapahit yang bergelar
Brawijaya, dan tahta Brawijaya terakhir diruntuhkan putranya sendiri, Raden
Patah, adipati Demak yang beragama Islam. Mitos yang sangat populer di kalangan
masyarakat Jawa itu jelas menyesatkan, sebab Majapahit runtuh tahun 1478
lantaran pertikaian sesama keluarga kerajaan itu sendiri. Justru kevakuman
kekuasaan akibat runtuhnya Majapahit dimanfaatkan oleh Demak untuk tampil
sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa.
Kerajaan Hindu yang
ditaklukkan oleh Demak bukanlah Majapahit, melainkan Kerajaan Daha, yaitu tahta
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Brawijaya terakhir) yang tidak pernah menjadi
raja Majapahit. Justru Majapahit runtuh oleh serangan Ranawijaya dan
kakak-kakaknya. Dengan demikian, Babad Tanah Jawi ternyata mencampuradukkan dua
fakta sejarah yang berlainan: (1) runtuhnya Majapahit tahun 1478 akibat
serangan putra-putra Sang Sinagara, serta (2) runtuhnya tahta Brawijaya di Daha
tahun 1527 akibat penaklukan oleh Demak.***
LAMPIRAN:
BHATARA-BHATARA DI
DAERAH MANDALA
BHRE KAHURIPAN
Tribhuwana 1309-1328,
1350-1375 Par.27:18,19; 29:32; Nag.2:2
Hayam Wuruk 1334-1350
Prasasti Tribhuwana
Wikramawardhana
1375-1389 Suma Oriental(?)
Surawardhani
1389-1400 Par.29:23,26; 30:37
Ratnapangkaja
1400-1446 Par.30:5,6; 31:35
Rajasawardhana
1447-1451 Par.32:11; Prasasti War.Pitu
Samarawijaya
1451-1478 Par.32:23
BHRE DAHA
Jayanagara 1295-1309
Nag.47:2; Prasasti Sukamerta
Rajadewi 1309-1375
Par.27:15; 29:31; Nag.4:1
Indudewi 1375-1415
Par.29:19; 31:10,21
Suhita 1415-1429 ?
Jayeswari 1429-1464
Par.30:8; 31:34; 32:18; War.Pitu
Manggalawardhani
1464-1474 Prasasti Trailokyapuri
BHRE TUMAPEL
Kertawardhana
1328-1386 Par.27:17; 29:34; 30:1; Nag.3:1
Abangnya Suhita
1389-1427 Par.30:3,7,11,12; 31:6,24
Kertawijaya 1429-1447
Par.30:4,8; 32:1
Suraprabhawa
1447-1466 Par.32:21; War.Pitu; Trawulan III
BHRE WENGKER
Wijayarajasa
1328-1388 Par.27:15; 30:19; Nag.4:2
Ayahnya Sawitri
1389-1427 Par.30:12,17; 31:25
Girisawardhana
1429-1456 Par.32:15; War.Pitu
BHRE LASEM
Indudewi 1350-1375
Par.27:23; Nag.5:1
Nagarawardhani
1375-1400 Par.29:22; 30:37
Kusumawardhani
1389-1400 Par.29:18,21; 30:36
Istri Bhre
Tumapel(II) 1400-1430 Par.30:7; 31:31
Istri Bhre
Tumapel(II) 1406-1430 Par.30:11; 31:31
BHRE PAJANG
Dyah Nartaja
1350-1388 Par.27:24; 29:20; 30:22; Nag.5:2
Suhita 1389-1415 ?
Sureswari 1429-1450
Par.30:15; 32:6; War.Pitu
BHRE PAGUHAN
Raden Sumana
1350-1388 Par.27:25; 30:23; Nag.6:2
Ratnapangkaja
1389-1400 ?
Ayahnya Sripura
1400-1440 Par.30:13-17; 32:4
BHRE KABALAN
Kusumawardhani
1358-1389 Nag.7:4
Jayeswari 1415-1429 ?
Sawitri 1429-1450
Par.30:17; 32:5;War.Pitu; Trawulan III
BHRE MATARAM
Wikramawardhana
1353-1375 Nag.6:3
Rajasakusuma
1375-1399 ?
Putri Wirabhumi(II)
1406-1415 Par.30:10; 31:21
Kertawijaya 1415-1429
Suma Oriental(?)
Wijayakarana
1451-1478 Par.32:23
BHRE MATAHUN
Raden Larang
1350-1388 Par.27:24; 30:21; Nag.6:1
Ibunya Sawitri
1406-1415 Par.30:11,13; 31:21
Samarawijaya
1447-1451 War.Pitu; Trawulan III
BHRE WIRABHUMI
Nagarawardhani
1354-1375 Nag.6:3
Raja kadaton wetan 1375-1406
Par.29:19,23; 30:9; 31:3,11
Pureswari 1447- …….
War.Pitu
BHRE PANDANSALAS
Ranamanggala
1375-1400 Par.29:26; 30:5; 31:1
Raden Jagulu
1400-1430 Par.31:31
Suraprabhawa
1430-1447 Par.30:18; 32:21
BHRE KELING
Putra BhreTumapel(II)
1429-1446 Par.30:16; 31:36
Rajasawardhana
1446-1447 Par.32:11
Wijayakarana
1447-1451 War.Pitu
BHRE PAMOTAN
Rajasawardhana
1429-1446 Par.32:11
Wijayakusuma
1451-1478 Par.32:23
BHRE PAWANAWAN
Surawardhani
1355-1389 Nag.6:4
BHRE PAKEMBANGAN
Putra Bhre
Wirabhumi(II) ? Par.30:9
BHRE JAGARAGA
Wijayaduhita
1429-1466 Par.30:13; 32:20; War.Pitu
BHRE TANJUNGPURA
Manggalawardhani
1429-1464 Par.30:14; War.Pitu
BHRE KEMBANGJENAR
Sudharmini 1429- …….
Par.30:16; War.Pitu
BHRE SINGAPURA
Sripura 1429- …….
Par.30:18; War.Pitu; Trawulan III
BHRE KALINGGAPURA
Sudayita 1447- …….
War.Pitu
BHRE KERTABHUMI
Ranawijaya 1451-1478
Par.32:24
PUSTAKA
(disusun menurut
tahun terbit) :
Jan Laurens Andries
Brandes, “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van
Majapahit”, bewerkt door Nicolaas Johannes Krom, Verhandelingen 62, Bataviaasch
Genootschap, Batavia, 1920.
Paul Ravaisse,
“L’inscription coufique de Leran a Java”, Tijdschrift 65, Bataviaasch
Genootschap, Batavia, 1925.
Martha Adriana
Muusses, “Singhawikramawarddhana”, Feestbundel, Volume 2, Bataviaasch
Genootschap (150 jarig bestaan 1778–1928), Batavia, 1929.
Nicolaas Johannes
Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis, tweede herziene druk, Martinus Nijhoff,
‘s-Gravenhage, 1931.
Armando Cortesao, The
Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, Volume 1-2, translated
from Portuguese, The Hakluyt Society, London, 1944.
Louis-Charles Damais,
“Etudes d’Epigraphie Indonesienne: III. Liste de principales inscriptions
datees de l’Indonesie”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome
46, Paris, 1952.
Louis-Charles Damais,
“Etudes Javanaises: I. Les tombes musulmanes datees de Tralaya”, Bulletin de
l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 48, Paris, 1957.
Bertram Johannes Otto
Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two: Ruler and Realm in Early
Java, W. van Hoeve, The Hague & Bandung, 1957.
Willem Pieter
Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese
Sources, reprint, Bhratara, Djakarta, 1960.
Theodoor Gautier
Thomas Pigeaud, Java in the Fourteenth Century: A Study in Culture History: The
Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., Volume 4, Martinus
Nijhoff, The Hague, 1962.
Muhammad Yamin,
Tatanegara Madjapahit, Parwa 1-2, Jajasan Prapantja, Djakarta, 1962.
George Coedes, The
Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur,
1968.
Andries Teeuw et al,
Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung, Bibliotheca Indonesica 3, Martinus Nijhoff, The
Hague, 1969.
Merle Calvin
Ricklefs, “A Consideration of Three Versions of the Babad Tanah Djawi, with
Excerpts on the Fall of Madjapahit”, Bulletin of the School of Oriental and
African Studies, Vol.35(2), London, 1972.
Boechari, “Epigraphic
Evidence on Kingship in Ancient Java”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia,
Jilid V(1), Bhratara, Jakarta, 1973.
Jacobus Noorduyn,
“The Eastern Kings in Majapahit”, Bijdragen 131, Koninklijk Instituut, Leiden,
1975.
Jacobus Noorduyn,
“Majapahit in the Fifteenth Century”, Bijdragen 134, Koninklijk Instituut,
Leiden, 1978.
Hasan Djafar,
Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Yayasan Nalanda, Jakarta,
1978.
Slametmulyana,
Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Yayasan Idayu, Jakarta, 1983.
Nia Kurnia Sholihat,
“Rekonstruksi Sejarah Majapahit”, Harian Umum Sinar Harapan, 13 Februari 1985.