Dalam catatan kali ini saya ingin menunjukkan
betapa tinggi ilmu filosofi leluhur Nusantara, khususnya orang-orang Jawa. Saya
tidak menulis catatan ini secara langsung, melainkan menyalinnya dari Buletin
CITRA SOLO edisi 03/V/2011 hal. 10 – 11, dengan penyuntingan seperlunya.
Demikian yang ingin saya bagikan:
Masyarakat Jawa masih mengenal apa yang
disebut sebagai sajen atau sesaji, dan masih ada yang meneruskan tradisi
tersebut. Namun, tradisi sajen oleh sebagian masyarakat modern dianggap sebagai
klenik, mistis, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang berkesan negatif.
Hanya sedikit orang yang melihatnya sebagai bentuk lain dari doa. Dengan kata
lain, sesaji adalah wujud dari sistem religi masyarakat Jawa.
Ada beragam jenis sesaji dalam kehidupan
masyarakat Jawa. Ragam sesaji tersebut mewakili siklus kehidupan manusia Jawa,
yaitu: metu-manten-mati (kelahiran-pernikahan-kematian). Kesemuanya mempunyai
makna sebagai simbol doa dan harapan.
Sajen Kelahiran
Sajen Brokohan
Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesaji
berupa kelapa tidak utuh, gula jawa tidak utuh, cendol atau dawet dalam periuk
kecil, dan telur bebek mentah. Di samping itu, juga terdapat sesaji yang berupa
sepasang ayam dewasa yang diletakkan dalam kurungan kranji. Makna sajen
brokohan merupakan manifestasi dari siklus manusia ketika masih di dalam rahim
Sang Ilahi. Sebelum terbentuk, embrio berasal dari pertemuan benih laki-laki
yang berupa sperma (dalam bahasa Jawa kuno disebut sukra) dengan benih
perempuan yang berupa sel telur (atau swanita). Kelapa tidak utuh merupakan simbol
sel sperma, sedangkan gula jawa adalah simbol sel telur. Ketika keduanya bertemu
muncullah bibit kehidupan atau embrio, yang disimbolkan dengan cendol atau dawet
dalam periuk kecil. Menurut orang Jawa, roh dari embrio-embrio ini masih berada
di alam awang-uwung atau langit biru, disimbolkan dengan telur bebek yang
kulitnya berwarna biru langit. Siklus manusia yang masih berada di dalam rahim
Sang Ilahi belum bebas adanya, disimbolkan oleh sepasang ayam dewasa dalam
kurungan kranji.
Sajen Pisang Sanggan
Sajen ini diwujudkan dalam bentuk pisang raja
setangkep (dua sisir) yang buahnya berjumlah genap pada masing-masing
sisirnya. Di atasnya terdapat kembang telon (kanthil, melati, kenanga), seikat
benang lawe, dan ubarampe kinang atau ganten (daun sirih, enjet/kapur, gambir,
susur/tembakau, buah jambe, dan daun sogok telik), masing-masing diletakkan
dalam sebuah takir dan ditambah dengan boreh. Makna sajen pisang sanggan dan
kembang telon adalah ketika sudah mencapai bulan kelahiran, maka jabang bayi
akan lahir ke dunia. Ceritanya, saat Batara Guru telah mendapatkan air amerta
(air kehidupan) dari hasil mengaduk-aduk laut, maka yang digambarkan adalah
wujud dunia ini, yang kemudian disimbolkan dengan pisang raja. Orang Jawa kuno
sudah beranggapan bahwa, bumi ini bulat tanpa ujung pangkalnya. Sedangkan
sesaji kembang telon, melati, kanthil, dan kenanga merupakan perwujudan dari
ketiga dunia ini. Paham Jawa Kuno mengenal adanya tiga dunia, yaitu dunia atas,
dunia tengah, dan dunia bawah. Sesaji dalam wujud ubarampe kinang dan boreh
bermakna bahwa bayi yang lahir pasti disambut dengan suasana suka cita seperti
makan kinang akan merasakan manis. Begitulah gambaran manusia hidup di bumi
dalam mencari hidup selalu ada pergulatan.
Sajen Tumpeng Gundhul
Sajen ini diwujudkan dalam bentuk tumpeng tanpa
dihiasi dengan ubarampe apa pun. Wujudnya putih polos, dengan dikelilingi tujuh
variasi jenang dalam tujuh wadah takir, misalnya jenang putih, jenang abang,
jenang putih palang jenang abang, jenang putih sedikit jenang abang, jenang
boro-boro (jenang putih diberi parutan kelapa dan irisan gula jawa) dan separo
jenang abang dan putih. Semuanya ditempatkan dalam ‘nyiru’ tampah. Sajen ini
sebagai simbol dari bayi yang lahir ke dunia masih dalam keadaan polos, bersih,
dan suci lahir batin. Ia lahir ke dunia belum mempunyai apa-apa dan belum ada
apa-apanya. Yang ia miliki hanyalah jiwa raga yang melekat pada dirinya. Ketujuh
jenang mempunyai makna bahwa saat kelahiran bayi, ia akan selalu disertai oleh
tujuh saudara dalam kehidupannya. Ketujuh saudaranya (dalam tradisi Jawa
kuno) itu berasal dari darah nifas, air kawah, kotoran, ari-ari, dan lain-lain.
Sajen Pernikahan
Sajen Sega Punar
Sajen ini diwujudkan dalam bentuk nasi kuning
yang dilengkapi dengan lauk pauk, seperti abon, kedelai hitam, bawang merah
goreng, ayam goreng, irisan telur dadar, sambal goreng, mentimun, dan daun
kemangi. Semuanya diletakkan dalam tampah 'nyiru'. Sajen ini adalah gambaran bersatunya
dua hati perempuan dan laki-laki dalam ikatan perkawinan. Keduanya diharapkan
dapat seiring sejalan dan harmonis dalam membangun rumah tangga dan saat terjun
di dalam masyarakat. Rasa egois harus ditinggalkan jauh-jauh, mereka harus
dapat menerima apa adanya, menerima kekurangan masing-masing dan berusaha
melengkapinya, sehingga menjadi satu kelebihan. Sajen sega punar ini dalam
setiap upacara panggih manten Jawa selalu disertakan dalam acara dhahar
walimah, yang menggambarkan bersatunya dua hati menjadi satu ikatan batin yang
utuh.
Sajen Sega Kebuli
Sajen diwujudkan dalam bentuk nasi putih
dengan lauk pauk seperti telur ceplok, abon, ayam goreng, sambel goreng, krupuk
udang, mentimun, dan daun kemangi. Semuanya ditempatkan dalam sebuah tampah
'nyiru'. Konon, nasi kebuli berasal dari budaya Timur Tengah. Makna sajen ini
adalah menggambarkan perjalanan hidup suami istri yang diharapkan selalu dalam
keadaan selamat, mendapat berkah dari Tuhan, dan segala permohonan dan
harapannya terkabulkan oleh Tuhan. Setelah pernikahan terjadi, keduanya pasti
selalu memohon kepada Tuhan, agar di dalam melaksanakan kehidupan mendapat
rahmat, terhindar dari segala mara bahaya dan mudah mendapat rezeki.
Sajen Sega Golong
Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian
yang berupa dua buah nasi golong, yang masing-masing diselimuti atau dibalut
dengan telur dadar, pecel panggang ayam, daun kemangi, dilengkapi dengan
jangan menir (sayur menir) dan jangan padhamara. Khusus jangan menir dan jangan
padhamara, masing-masing ditempatkan terlebih dahulu dalam cuwo/cowek (cobek)
yang terbuat dari gerabah. Baru kemudian semua sajen ditempatkan dalam sebuah
tampah 'nyiru'. Makna sajen ini adalah menggambarkan kedua insan yang mempunyai
niat saling membantu dalam membangun mahligai rumah tangga. Begitu pula dalam
kebutuhan lahir batin, mereka saling mengisi, saling memberi dan menerima.
Istilah golong lulut dalam bahasa Jawa Kuno mengacu pada hubungan suami istri
atau intercourse. Oleh karena itu, sega golong yang diselimuti oleh telur dadar
sebagai simbol hubungan suami istri tersebut.
Sajen Kematian
Sajen Ketan Kolak
Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian
yang berupa tujuh buah apem, ketan, dan kolak (pisang dan ketela). Semuanya
ditempatkan di dalam tampah 'nyiru' yang telah diberi alas daun pisang. Makna
sajen ketan kolak ini menggambarkan seseorang yang telah meninggal dunia dan
siap kembali menyatu dengan Sang Ilahi. Agar dapat tercapai dengan selamat dan
sempurna di sisi-Nya, dan arwahnya tidak nglambrang atau pergi tak tentu arah,
maka disimbolkan dengan sajen ketan kolak apem. Sajen ini juga sering dijumpai
pada saat tradisi ruwahan, yang intinya memohon kepada Tuhan agar arwah orang
yang diselamati dapat kembali kepada Sang Ilahi dan tidak nglambrang atau gentayangan.
Sajen Kendhi
Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian
berupa kendi ditutup dengan daun dhadhap serep. Air tempuran adalah pertemuan
dua arus sungai. Makna sajen ini adalah menggambarkan sudah pulangnya kembali
arwah yang sudah meninggal di sisi Sang Ilahi, seperti sebelum dilahirkan.
Dengan demikian, diharapkan arwah tersebut dapat kembali menuju ke alam
kelanggengan, atau dunia yang kekal abadi.