21 Agu 2013

Kilas Balik Majalah Popular

Sebelum ini saya telah membuat catatan tentang pengalaman berlangganan Majalah Film yang sering dikira sebagai “majalah pria dewasa” karena cover-covernya yang sensual. Nah, kali ini saya akan berbagi catatan tentang sebuah majalah yang menyatakan diri sebagai “majalah pria dewasa nomor satu di Indonesia”; siapa lagi kalau bukan Majalah Popular. Namun, catatan saya ini bukan berisi kumpulan foto model Popular berpakaian minim seperti banyak dijumpai di blog lain, tetapi lebih ditujukan untuk mengupas sejarah majalah ini. Mengapa saya tertarik untuk membuat catatan tentang Majalah Popular? Karena saya menemukan fakta bahwa, pada awal berdirinya, Popular ternyata bukan majalah yang menyajikan sensualitas sebagai daya pikat utama sebagaimana dikenal belakangan ini.

 Beberapa cover Popular sebelum menjadi "majalah pria dewasa".

Berbeda dengan Majalah Film yang selalu saya beli setiap kali terbit, untuk Popular, saya tidak pernah berlangganan sama sekali. Bagi saya, biaya untuk membeli Majalah Popular tidak sebanding dengan manfaat yang bisa saya peroleh. Mungkin saya memang bukan golongan “pria dewasa” yang menjadi sasaran Popular. Namun gara-gara menemukan Majalah Popular jadul bercover sopan di sebuah kios penjual buku bekas, saya menjadi tertarik untuk menelusuri sejarah majalah tersebut yang entah bagaimana ceritanya telah bermetamorfosis dari cover “sopan” menjadi “terbuka”.

Popular memang menjadi ikon majalah pria dewasa di tanah air. Bahkan, pada 24 Mei 2012 silam, Popular mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai majalah pria dewasa yang bisa bertahan selama 24 tahun di Indonesia. Bagaimanapun juga, Popular memang produk asli Indonesia yang tetap kokoh bersaing menghadapi para pendatang dengan konsep sejenis, misalnya FHM, Maxim, atau bahkan Playboy yang punya nama besar di dunia.

Penghargaan MURI kepada Popular.

Pendiri Majalah Popular bernama Heriyadi H. Sobiran. Awalnya ia ingin menerbitkan sebuah majalah yang mengulas olahraga, musik, dan film. Gagasan tersebut lahir karena Indonesia saat itu menjadi tuan rumah Sea Games 1987, yaitu pesta olahraga se-Asia Tenggara yang diselenggarakan di Jakarta. Pada 25 Mei 1987, Heriyadi H. Sobiran melalui PT. Nitra Indrya Harsa mengajukan permohonan kepada Menteri Penerangan RI untuk mengeluarkan surat izin penerbitan majalah bulanan. Akhirnya setelah melewati satu semester lebih, surat keputusan nomor 252/SK/MENPEN/SIUPP/D.1/1988 yang ditunggu-tunggu pun turun juga. Setelah memasang artis Lydia Kandou sebagai model cover edisi percobaan, maka terbitlah edisi perdana Majalah Popular dengan model cover Camelia Malik pada 8 Februari 1988, dengan semboyan "Mereka yang berprestasi".

Namun demikian, angka penjualan Popular ternyata masih jauh dari target yang diharapkan. Untuk itu, Heriyadi H. Sobiran berani mengambil risiko dengan menyajikan suatu konsep majalah yang belum pernah ada di Indonesia, yaitu konsep foto swimsuit alias pakaian renang. Gagasan tersebut pun diwujudkan pada edisi ke-38, bulan Maret 1991. Tercatat nama Sophia Latjuba sebagai model swimsuit pertama yang berpose sebagai cover Majalah Popular, disusul kemudian dengan Dian Nitami pada bulan berikutnya.

 Sophia Latjuba dan Dian Nitami, dua pelopor tradisi swimsuit di Popular.

Kontroversi pun berkembang seiring dengan meningkatnya angka penjualan. Dua bulan berikutnya, pihak Popular dipanggil Departemen Penerangan sekalu otoritas yang berkuasa atas media saat itu. Bagaimanapun juga, konsep pakaian renang dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Akhirnya, dicapailah kesepakatan antara kedua pihak. Popular tetap diperbolehkan mengusung konsep foto swimsuit dengan syarat tidak bertentangan dengan lokasi sebagai latar belakangnya. Artinya, model boleh difoto dalam busana swimsuit asalkan berada di pantai, laut, ataupun kolam renang.

Begitulah, pada awalnya Majalah Popular memang diterbitkan untuk menyiarkan berita olahraga dan seni, sehingga penampilan swimsuit oleh pihak redaksi dikatakan mewakili cabang olahraga renang. Popular sendiri juga sangat selektif dalam memasang model covernya. Tidak semua wanita bisa berpose menampilkan keindahan tubuhnya di majalah dewasa ini. Ada kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan oleh pihak redaksi. Bahkan, ada seorang artis senior yang semasa mudanya pernah berkata bahwa dia tidak mau difoto memakai swimsuit, kecuali untuk Majalah Popular.

Yang saya ingat dan ramai diberitakan, pada tahun 1999 Popular pernah tersandung kasus pornografi karena menyajikan cover Sophia Latjuba sedemikian rupa, seakan-akan telanjang tanpa busana. Konon foto ini diilhami dari poster Demi Moore yang membuat Popular edisi tersebut laku keras. Namun entah bagaimana ceritanya, Popular berhasil menghadapi segala tuntutan di Pengadilan Negeri dengan baik.

 Cover kontroversi Sophia Latjuba.

Pada perkembangan selanjutnya, Popular ternyata tidak hanya memasang cover bertema swimsuit, tetapi juga bikini, bahkan lingerie dan pakaian dalam. Juga ada konsep pakaian seksi kontemporer. Ada juga model cover yang berpakaian gaun, namun tetap memperlihatkan kesan sensual. Di bawah saya sajikan beberapa contoh cover Popular dari beberapa generasi yang berhasil saya temukan.

Demikian sedikit yang saya ketahui tentang sejarah Majalah Popular. Saat masih remaja dulu, saya sering melihat Popular dijual bebas di kios-kios pinggir jalan. Untuk saat ini, sepertinya hanya toko-toko buku tertentu yang menjual Popular, itu pun dengan dilapisi selembar sampul kecil untuk menutup bagian sensual dari foto model yang berpose di cover. Sebuah usaha yang cukup bijaksana karena tidak semua mata dikendalikan oleh pikiran yang dewasa.

Beberapa cover Popular dari generasi 1980-an, 1990-an, 2000-an, dan 2010-an.





13 Agu 2013

Tanya Jawab Lara Pangkon

 Rombongan pengantin pria beserta Lara Pangkon di Kabupaten Malang, tahun 1970.

Pada saat paman saya yang tinggal di Desa Wonosalam menikah, ada salah seorang dari rombongan pengiring yang membawa ayam jago. Bukan ayam betulan, tetapi semacam boneka yang dibuat sedemikian rupa. Saat itu saya masih kecil, dan yang paling saya ingat adalah paruh boneka ayam tersebut dibuat dari selembar uang yang digulung. Kalau soal uang memang sulit dilupakan ….

Nah, tradisi membawa boneka jago untuk diserahkan ke pihak pengantin perempuan tersebut adalah budaya asli Jawa Timur yang disebut Lara Pangkon. Ayam jago tersebut adalah simbol dari pengantin laki-laki yang dipuji-puji penuh dengan kelebihan. Tradisi Lara Pangkon ini hanya diperuntukkan bagi pasangan pengantin yang belum pernah menikah. Artinya, pengantin perjaka bertemu perawan.

Biasanya pihak pengantin perempuan telah menyiapkan wakilnya untuk menerima jago tersebut. Proses serah-terima lazimnya diawali dengan tanya-jawab antara pihak pembawa jago dengan pihak penerima jago. Pihak penerima menanyakan apa saja kelebihan jago tersebut, sedangkan pihak pembawa menjelaskan satu per satu keistimewaan jago yang dibawanya. Dialog tersebut biasanya diselingi dengan humor sehingga menjadi daya tarik tersendiri dan selalu ditunggu-tunggu oleh para pengiring, ataupun para tamu undangan lainnya. Tidak jarang dialog antara keduanya dilanjutkan dengan pencak silat, di mana pihak penerima berusaha merebut boneka ayam tersebut dari pihak pembawa.

Percakapan tersebut boleh dibilang tidak semua orang bisa melakukannya. Untuk itu, yang menjadi petugas Lara Pangkon benar-benar harus menguasai tutur kata dan keahlian berbicara. Memang tidak harus anggota keluarga, tetapi bisa menyewa dari pihak luar. Maklum, karena harus menghafalkan dan memahami dialog sebanyak itu, tidak sedikit para seniman dan pelaku tradisi yang menjadikan Lara Pangkon sebagai profesi tersendiri.

Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi Lara Pangkon semakin lama semakin berangsur punah. Tradisi yang kaya dengan nasihat yang bersifat simbolis ini sekarang diganti dengan ceramah agama dan sejenisnya.


Berikut adalah dialog Lara Pangkon yang saya tulis berdasarkan rekaman kaset Ludruk Kartolo Cs, di mana si pembawa jago saya lambangkan dengan huruf A, sedangkan si penerima jago saya lambangkan dengan huruf B. Percakapan dilakukan dalam bahasa Jawa Timuran.

A : “Assalamualaikum.”
B : “Waalaikumsalam. Teja-teja sulaksana, tejane wong anyar katon. Ilang tejane cumlorot saksada lanang, jumleger kari menungsane. Dherek niku sinten namine?”
A : “Nami kula Pak Cukup, yogane Pak Turah. Tegese cukup sing disandang lan dipangan nganti turah-turah.”
B : “Lha sampeyan niki saking pundi pinangkane?”
A : “Kula saking Suralaya Adilinuwih. Sura tegese wani, laya pati, adi bagus, linuwih samubarang kalire. Lajeng panjenengan menika sinten, lan niki dusun pundi?”
B : “Nami kula Darmojulig. Darmo niku temen, Julig niku duta perwakilan, lan niki dusun Karang Kadempel. Tebih saking Suralaya dumugi Karang Kadempel mriki, menapa ingkang sampeyan padosi, Dhik?”
A : “Madosi griyane mbok rondo sing gadhah petetan pitik dara, aran Sekar Jaya Mulya, ingkang dereng rontok sarine.”
B : “Lha nggih niki Dhik, sing sampeyan padosi. Cocok nggih niki.”
A : “Niku jenenge mapan kabeneran, dapur kaleresan.”
B : “Wonten paribasane, tumbu oleh tutup, bantal oleh guling. Tebih saking Suralaya, liwat dalan pundi sampeyan wau, Dhik?
A : “Liwat lurung tengah, kanan kiri karang kitri, katik numpaki jaran napas.”
B : “Jaran napas? Lajeng pirantine jaran napas niku napa mawon, Dhik?”
A : “Lise gemi, setiti, ngati-ati. Cemeti ati suci. Tropong waskito lair trusing batin. Lapak sadat panetep panotogomo.”
B : “Tebih saking Suralaya dumugi Karang Kadempel mriki, napa mboten kendel sampeyan wau, Dhik?”
A : “Kula wau kendel ten kutha Mesir, nggih griya sampeyan niki sing kula sir.”
B : “Lha ingkang sampeyan bekta niku napa, Dhik?”
A : “Niki Sawung Seta Wana. Tegese, sawung jago, seta putih, wana alas.”
B : “Lha candrane jago sampeyan niku napa, Dhik? Sampeyan terangaken siji-siji.”
A : “Siji-siji? Napa mawon, dugi pundi sing sampeyan takokaken? Kula jawabe.”
B : “Jago sampeyan niku ndase diarani ndas napa?”
A : “Cepuk emas tunggul naga.”
B : “Gulune?”
A : “Tunggul wulung.”
B : “Mripate?”
A : “Merah delima.”
B : “Jenggere?”
A : “Emas berliyan.”
B : “Cucuke?”
A : “Aran wesi pulosrani.”
B : “Lha kupinge?”
A : “Suling bremara.”
B : “Jembele?”
A : “Sumber kamajaya.”
B : “Rawise?”
A : “Cinde amoh.”
B : “Dhik, kari siji, kula badhe takon kok sungkan.”
A : “Mboten napa-napa. Niki mboten wonten wadi, wonten jlentrehe sedaya.”
B : “Mari rawise, lha teleke, Dhik?”
A : “Wadhah rasa.”
B : “Lha guayane?”
A : “Teja warna.”
B : “Ulese?”
A : “Manca warna.”
B : “Lho, kok saged mancawarna? Napa mawon dumununge?”
A : “Ana putih, ana abang, ana ireng, ana kuning.”
B : “Lha maknane napa, coba sampeyan terangaken siji siji?”
A : “Putih ing wetan panggonane, manuke kuntul, gunungane kapur, segarane santen, kembange kembang cempaka, kuthane slaka, sing mengku Bethara Guru, manjing neng ati suci.”
B : “Lha sing abang?”
A : “Abang ing kidul panggonane, manuke wulung, segarane getih, gunungane geni, kembange wurawaribang, kuthane tembaga, sing mengku Bethara Brama, manjing nduk durgamangsa.”
B : “Lha sing kuning?”
A : “Kuning neng kulon panggonane, manuke podang, segarane madu, gunungane welirang, kembange kenikir, kuthane kuningan, sing mengku Bethara Kamajaya, manjinge nduk kebrahen.”
B : “Lha sing ireng?”
A : “Ireng neng lor panggonane, manuke gagak, segarane nila, gununganen areng, kembange menteleng, kuthane wesi, sing mengku Bethara Wisnu, manjing nduk sipat kelanggengen.”
B : “Lha sakniki suwiwine?”
A : “Belah jagat.”
B : “Sikile?”
A : “Sangga bumi.”
B : “Jalune?”
A : “Sipat jentik gumala netra.”
B : “Pitik sampeyan niku dereng nate tarung tah, Dhik?”
A : “Lho, dereng nate.”
B : “Lha kok jalune budhel, ngaten?”
A : “Lho, tapi nek kadung tarung, tarung sepisan kenek jalune pitik kula, abuh dherek.”
B : “Abuh mboten saged waras?”
A : “Saged waras nek sampun sangang wulan sepuluh dino, katik dicelukaken dhukun bayi.”
B : “Lha cakare?”
A : “Sapu jagad.”
B : “Buntute?”
A : Tebu sauyun sineret, kaya mega diapit kluwung.”
B : “Kukune?”
A : “Lempuyang akik.”
B : “Pakane?”
A : “Sega putih, iwak ati, jangan kluwih.”
B : “Maknane napa, Dhik?”
A : “Sega putih niku wis suci, nek wis suci kudu sing ati-ati, supaya luwih-luwih sing disandang lan dipangan.”
B : “Lha ngombene?”
A : “Wadhah kawah candradimuka, isine durga pangongso-ongso.”
B : “Lha sing ngombeni?”
A : “Sing ngombeni dulur papat lima badan, sing papat manjing nduk keblat, sing siji wujud.”
B : “Lha maknane?”
A : “Keblat niku papat; wetan, kidul, kulon, lor. Lha wujud niku pancer.”
B : “Lha pangkringane?”
A : “Kajeng kruda mandera.”
B : “Paturone?”
A : “Dalem madiganda, bantal piwarah, kemul pitutur, dene kurungane lair lan batin, mudune jengkar guling kuris gading.”
B : “Lha kok jago sampeyan mboten saged kluruk, Dhik?”
A : “Nggih saged. Cuma saumur kluruk pisan tok. Kluruke wayah jam wolu esuk, metu nduk ayunane sido dadi, diapit lan diadep para priyayi, diwulang bapak naib.”
B : “Lha wulangane napa?”
A : “Laras kalih agamane, dene nek Islam nggih sahadat.”
B : “Lha mudune jengkar guling kursi gading niku maknane napa, Dhik?”
A : “Sakjerone gerdin, dada siji tinawonan, bekupone jero turon, isi putri kawudanan, sang putra niba pangkon.”
B : “Lha wetenge niku isine napa mawon, jago sampeyan?”
A : “Isine beras, ndok, lan emas.”
B : “Maknane?”
A : “Beras tegese iber-iber, ojo nganti uwas. Dene ndok weruha dadare, emas weruha lelere.”
B : “Lha telene?”
A : “Isi rajabrana, mas picis, lan tigan lantakan. Mbah belowo isi ketumbar lan mrica, tegese kemanten ora bakal diumbar tapi bakal diloloh.”
B : “Nek ngaten, jago sampeyan iku jago petingan, Dhik. Jago pawijen, sanes jago sembarangan?”
A : “Nggih, dhasar kepara nyata.”
B : “Nek ngaten amrih saene, ayo seduluran kalih kula. Jago sampeyan kulo pek’e.”
A : “Lho empun ndeder perkoro lho, nggih? Pengin ngepek jago kula, kula rewangi pecahe jaja wutahe ludira.”
B : “Lho nek ngaten ayo, Dhik.”

Selanjutnya adalah adegan pencak silat yang dimenangkan oleh wakil pengantin perempuan.

A : “Nggih niki jagone kula sukakaken sampeyan, tapi mboten gampang kula sukakaken lho. Wonten tebusane.”
B : “Lha napa tebusane?”
A : “Satak selawe, sejampel suku selawe.”
B : “Lha napa maksude?”
A : “Nek tak jupuk rolas, manjinge nang taun.”
B : “Lha kok saged?”
A : “Setaun ana rolas wulan. Nek tak jupuk telung puluh manjinge nang wulan.”
B : “Kok saged?”
A : “Sakwulan telung puluh dina. Nek tak jupuk pitu manggone nang dina, seminggu petung dina. Nek takjupuk lima, manjinge nang pasaran. Nek takjupuk telu manjinge nang kemanten lanang wedok sak waline.”
B : “Nek wonten kemanten lanang, kudu wonten kemanten wedok, nek mboten wonten waline?”
A : “Mboten dadi, Dherek.”
B : “Lha gemrudug neng wingking sampeyan niku sinten, Dhik?”
A : “Niku pengiring kula, wadyabala kula saking Suralaya.”
B : “Lha napa mawon sing digawa?”
A : “Niku tumbak, tegese kangge mbabat dalan. Lha sing digawa kabeh aran misra lan misri. Misra kagawa balik, misri kagawa kari. Misri teka wujud, bukti, makna, maknane rupa dom lan bolah. Dom landepa pikire, bolah netepi ular-ular kuna. Jambe suruh sekar bahu, supaya weruh sekar banjare, nini kemanten lan kaki kemanten.”
B : “Lha peti cilik sing dipikul niku napa, Dhik?”
A : “Niku jodang cilik, aran jodang joli jempana. Tegese, wolak-walik sampurnane, nini kemanten lan kaki kemanten.”
B : “Napa mawon isine?”
A : “Gedang minangka sajen, tegese gegeda lan padanga pikire, ngajenana awake. Kupat lepet ngluwara nadare, ngluwarana sengkalane, netepana agamane, cedakna rejekine, adohna bilahine.”
B : “Lha kendi niku napa maksude?”
A : “Minangka wong tuwa, bek kecangking, kothong kecangking. Kendi nyekseni lan mundi mundi.”
B : “Lha enten klapa sing gancet niku napa?”
A : “Mulane nek ngepek mantu aja sampek gawe papane wong tuwa, wet kudu dipepet.”
B : “Lha bokor kuningan niku?”
A : “Aja sampek nglokor, kudu diuning uning. Mulane nek ngapek mantu kudu diuning-uning utawa dituturi, empun diumbar mawon.”
B : “Lha piring cangkir niku?”
A : “Piring minangka lantaran, cangkir nancang pikir. Lungguhe aran lepek, duwe gawe ojo sampek klepak-klepek. Umpul-umpula dhisik, tegese ngumpulna bandane, ngumpulna sanak familine, bisa musawarah. Lepek, untung rugi disangga dewek.”
B : “Lha sing leter L niku nopo jenenge, Dhik?”
A : “Sing pating grandul niku? Niku gawangan, arane ongkek. Mulane ngapek mantu kudu disawang, aja sampek diongkek.”
B : “Lha sing enten danganane niku?”
A : “Niku siwur, tegese nyuwurna awake nek duwe gawe.”
B : “Lha sijine?”
A : “Sijine niku erus, tegese nerusna karep.”
B : “Lha kekep niku napa?”
A : “Rumangsa nek duwe sikep, dikekep tapi gak marai ongkep.”
B : “Lha sing leter L?”
A : “Leter L malih? Niku ilir, tegese ngapek silirane. Jeneng liyane tepas, tegese titip napas. Mulane nek ngapek mantu, miliha sing napase landung.”
B : “Lha sing bunder cangkeme ombo?”
A : “Niku kemaron, tegese karon-karonan mawon pokoke beres.”
B : “Lha sijine sing rada mblenduk niku?”
A : “Arane kendil isine klapa, nek wis njendil mari lapo-lapo.”
B : “Lha enten barang gepeng katik bunder niku napa?”
A : “Niku cowek, asale konco dewek sakniki dipek.”
B : “Lha sing niku?”
A : “Niki dandang, tegese ndang dadiyo. Dandang isi sega, nek dipangan marai seseg tur lega.”
B : “Lha kukusan?”
A : “Bisaa ngukus derajate, nek enak ojo lali wong tuwa. Paribasane gak ana kukus tanpa geni. Wong tuwa minangka genine utawa asal-usule.”
B : “Wah, nek gaten empun ngerti sedaya kula, jelenterehe.”
A : “Sampun kula jelentrehaken sedaya. Sakniki kula titip jago niki minangka anak kula lanang.”
B : “Nggih, Dhik, kula tramine sampeyan sekseni.”