18 Sep 2013

Tradisi Sajen dalam Siklus Kehidupan Jawa


Dalam catatan kali ini saya ingin menunjukkan betapa tinggi ilmu filosofi leluhur Nusantara, khususnya orang-orang Jawa. Saya tidak menulis catatan ini secara langsung, melainkan menyalinnya dari Buletin CITRA SOLO edisi 03/V/2011 hal. 10 – 11, dengan penyuntingan seperlunya.

Demikian yang ingin saya bagikan:


 
Masyarakat Jawa masih mengenal apa yang disebut sebagai sajen atau sesaji, dan masih ada yang meneruskan tradisi tersebut. Namun, tradisi sajen oleh sebagian masyarakat modern dianggap sebagai klenik, mistis, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang berkesan negatif. Hanya sedikit orang yang melihatnya sebagai bentuk lain dari doa. Dengan kata lain, sesaji adalah wujud dari sistem religi masyarakat Jawa.

Ada beragam jenis sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ragam sesaji tersebut mewakili siklus kehidupan manusia Jawa, yaitu: metu-manten-mati (kelahiran-pernikahan-kematian). Kesemuanya mempunyai makna sebagai simbol doa dan harapan.

Sajen Kelahiran

Sajen Brokohan

Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesaji berupa kelapa tidak utuh, gula jawa tidak utuh, cendol atau dawet dalam periuk kecil, dan telur bebek mentah. Di samping itu, juga terdapat sesaji yang berupa sepasang ayam dewasa yang diletakkan dalam kurungan kranji. Makna sajen brokohan merupakan manifestasi dari siklus manusia ketika masih di dalam rahim Sang Ilahi. Sebelum terbentuk, embrio berasal dari pertemuan benih laki-laki yang berupa sperma (dalam bahasa Jawa kuno disebut sukra) dengan benih perempuan yang berupa sel telur (atau swanita). Kelapa tidak utuh merupakan simbol sel sperma, sedangkan gula jawa adalah simbol sel telur. Ketika keduanya bertemu muncullah bibit kehidupan atau embrio, yang disimbolkan dengan cendol atau dawet dalam periuk kecil. Menurut orang Jawa, roh dari embrio-embrio ini masih berada di alam awang-uwung atau langit biru, disimbolkan dengan telur bebek yang kulitnya berwarna biru langit. Siklus manusia yang masih berada di dalam rahim Sang Ilahi belum bebas adanya, disimbolkan oleh sepasang ayam dewasa dalam kurungan kranji.

Sajen Pisang Sanggan

Sajen ini diwujudkan dalam bentuk pisang raja setangkep (dua sisir) yang buahnya berjumlah genap pada masing-masing sisirnya. Di atasnya terdapat kembang telon (kanthil, melati, kenanga), seikat benang lawe, dan ubarampe kinang atau ganten (daun sirih, enjet/kapur, gambir, susur/tembakau, buah jambe, dan daun sogok telik), masing-masing diletakkan dalam sebuah takir dan ditambah dengan boreh. Makna sajen pisang sanggan dan kembang telon adalah ketika sudah mencapai bulan kelahiran, maka jabang bayi akan lahir ke dunia. Ceritanya, saat Batara Guru telah mendapatkan air amerta (air kehidupan) dari hasil mengaduk-aduk laut, maka yang digambarkan adalah wujud dunia ini, yang kemudian disimbolkan dengan pisang raja. Orang Jawa kuno sudah beranggapan bahwa, bumi ini bulat tanpa ujung pangkalnya. Sedangkan sesaji kembang telon, melati, kanthil, dan kenanga merupakan perwujudan dari ketiga dunia ini. Paham Jawa Kuno mengenal adanya tiga dunia, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Sesaji dalam wujud ubarampe kinang dan boreh bermakna bahwa bayi yang lahir pasti disambut dengan suasana suka cita seperti makan kinang akan merasakan manis. Begitulah gambaran manusia hidup di bumi dalam mencari hidup selalu ada pergulatan.

Sajen Tumpeng Gundhul

Sajen ini diwujudkan dalam bentuk tumpeng tanpa dihiasi dengan ubarampe apa pun. Wujudnya putih polos, dengan dikelilingi tujuh variasi jenang dalam tujuh wadah takir, misalnya jenang putih, jenang abang, jenang putih palang jenang abang, jenang putih sedikit jenang abang, jenang boro-boro (jenang putih diberi parutan kelapa dan irisan gula jawa) dan separo jenang abang dan putih. Semuanya ditempatkan dalam ‘nyiru’ tampah. Sajen ini sebagai simbol dari bayi yang lahir ke dunia masih dalam keadaan polos, bersih, dan suci lahir batin. Ia lahir ke dunia belum mempunyai apa-apa dan belum ada apa-apanya. Yang ia miliki hanyalah jiwa raga yang melekat pada dirinya. Ketujuh jenang mempunyai makna bahwa saat kelahiran bayi, ia akan selalu disertai oleh tujuh saudara dalam kehidupannya. Ketujuh saudaranya (dalam tradisi Jawa kuno) itu berasal dari darah nifas, air kawah, kotoran, ari-ari, dan lain-lain.

Sajen Pernikahan

Sajen Sega Punar

Sajen ini diwujudkan dalam bentuk nasi kuning yang dilengkapi dengan lauk pauk, seperti abon, kedelai hitam, bawang merah goreng, ayam goreng, irisan telur dadar, sambal goreng, mentimun, dan daun kemangi. Semuanya diletakkan dalam tampah 'nyiru'. Sajen ini adalah gambaran bersatunya dua hati perempuan dan laki-laki dalam ikatan perkawinan. Keduanya diharapkan dapat seiring sejalan dan harmonis dalam membangun rumah tangga dan saat terjun di dalam masyarakat. Rasa egois harus ditinggalkan jauh-jauh, mereka harus dapat menerima apa adanya, menerima kekurangan masing-masing dan berusaha melengkapinya, sehingga menjadi satu kelebihan. Sajen sega punar ini dalam setiap upacara panggih manten Jawa selalu disertakan dalam acara dhahar walimah, yang menggambarkan bersatunya dua hati menjadi satu ikatan batin yang utuh.

Sajen Sega Kebuli

Sajen diwujudkan dalam bentuk nasi putih dengan lauk pauk seperti telur ceplok, abon, ayam goreng, sambel goreng, krupuk udang, mentimun, dan daun kemangi. Semuanya ditempatkan dalam sebuah tampah 'nyiru'. Konon, nasi kebuli berasal dari budaya Timur Tengah. Makna sajen ini adalah menggambarkan perjalanan hidup suami istri yang diharapkan selalu dalam keadaan selamat, mendapat berkah dari Tuhan, dan segala permohonan dan harapannya terkabulkan oleh Tuhan. Setelah pernikahan terjadi, keduanya pasti selalu memohon kepada Tuhan, agar di dalam melaksanakan kehidupan mendapat rahmat, terhindar dari segala mara bahaya dan mudah mendapat rezeki.

Sajen Sega Golong

Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian yang berupa dua buah nasi golong, yang masing-masing diselimuti atau dibalut dengan telur dadar, pecel panggang ayam, daun kemangi, dilengkapi dengan jangan menir (sayur menir) dan jangan padhamara. Khusus jangan menir dan jangan padhamara, masing-masing ditempatkan terlebih dahulu dalam cuwo/cowek (cobek) yang terbuat dari gerabah. Baru kemudian semua sajen ditempatkan dalam sebuah tampah 'nyiru'. Makna sajen ini adalah menggambarkan kedua insan yang mempunyai niat saling membantu dalam membangun mahligai rumah tangga. Begitu pula dalam kebutuhan lahir batin, mereka saling mengisi, saling memberi dan menerima. Istilah golong lulut dalam bahasa Jawa Kuno mengacu pada hubungan suami istri atau intercourse. Oleh karena itu, sega golong yang diselimuti oleh telur dadar sebagai simbol hubungan suami istri tersebut.

Sajen Kematian

Sajen Ketan Kolak

Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian yang berupa tujuh buah apem, ketan, dan kolak (pisang dan ketela). Semuanya ditempatkan di dalam tampah 'nyiru' yang telah diberi alas daun pisang. Makna sajen ketan kolak ini menggambarkan seseorang yang telah meninggal dunia dan siap kembali menyatu dengan Sang Ilahi. Agar dapat tercapai dengan selamat dan sempurna di sisi-Nya, dan arwahnya tidak nglambrang atau pergi tak tentu arah, maka disimbolkan dengan sajen ketan kolak apem. Sajen ini juga sering dijumpai pada saat tradisi ruwahan, yang intinya memohon kepada Tuhan agar arwah orang yang diselamati dapat kembali kepada Sang Ilahi dan tidak nglambrang atau gentayangan.

Sajen Kendhi

Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian berupa kendi ditutup dengan daun dhadhap serep. Air tempuran adalah pertemuan dua arus sungai. Makna sajen ini adalah menggambarkan sudah pulangnya kembali arwah yang sudah meninggal di sisi Sang Ilahi, seperti sebelum dilahirkan. Dengan demikian, diharapkan arwah tersebut dapat kembali menuju ke alam kelanggengan, atau dunia yang kekal abadi.