(copy paste tanpa edit dari akun Facebook milik Rakryan Purwa-anta Mpu Heri)
Menyambung postingan saya
beberapa waktu yang lalu tentang daftar raja-raja Jawa versi fantasi dan versi
histori, maka artikel kali ini khusus mengulas tokoh pendiri Kerajaan
Majapahit, yaitu Raden Wijaya yang sering disebut juga dengan nama Jaka
Sesuruh. Pertanyaannya, apakah benar Jaka Sesuruh adalah nama lain Raden Wijaya?
Raden Wijaya adalah pendiri
Majapahit menurut kitab Pararaton, dan ini terbukti kebenarannya karena sesuai
dengan nama yang ditemukan dalam kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu Dyah
Wijaya. Adapun nama yang lebih panjang ditemukan dalam prasasti Kudadu (1294),
yaitu Nararya Sanggramawijaya.
Sementara itu, Jaka Sesuruh
adalah pendiri Majapahit versi Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah turunannya,
seperti Babad Majapahit, Babad Segaluh, Serat Pranitiradya, Serat Pustakaraja,
dan babad-babad lainnya. Kitab-kitab tersebut ditulis ratusan tahun setelah
Majapahit runtuh sehingga isinya bersifat fantastis dan melenceng dari fakta historis.
Namun demikian, masih banyak di antara kita yang mencoba mengawinkan Babad
Tanah Jawi dengan Pararaton, sehingga menerima bahwa Jaka Sesuruh adalah nama
lain Raden Wijaya.
Pertanyaan pun saya perjelas.
Apa buktinya kalau Raden Wijaya memiliki nama lain Jaka Sesuruh? Apakah ada
prasasti atau kakawin peninggalan Majapahit yang menyebut Jaka Sesuruh sebagai nama
lain Dyah Wijaya? Jawabnya : tidak ada.
Bahkan, pada zaman Majapahit
nama “Jaka” belum lazim digunakan oleh kaum laki-laki. Terbukti, dalam kitab Pararaton
sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh yang mengandung unsur nama Jaka. Jika
demikian, lantas penulis Babad Tanah Jawi dapat ide dari mana mengarang nama
Jaka Sesuruh sebagai pendiri Majapahit?
Untuk lebih jelasnya, mari
kita simak uraian berikut ini …
KISAH HIDUP RADEN WIJAYA,
PENDIRI MAJAPAHIT VERSI HISTORI
Menurut kakawin
Nagarakretagama, Dyah Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, atau cucu Bhattara
Narasinghamurti dari Kerajaan Tumapel. Pada tahun 1292 kedaton Singhasari (ibu
kota Tumapel) diserang dari utara oleh bawahannya sendiri, yaitu Jayakatwang
raja Gelang-Gelang. Sri Kertanagara raja Tumapel pun mengirimkan pasukan untuk
menumpas, yang dipimpin kedua menantunya, yaitu Dyah Wijaya dan Dyah Ardharaja.
Tak disangka, serangan tersebut hanyalah pancingan, karena pasukan induk
Jayakatwang justru menyerang Singhasari dari arah selatan. Sri Kertanagara pun tewas
akibat pemberontakan ini.
Dyah Ardharaja yang juga putra
Sri Jayakatwang kemudian berbalik meninggalkan Dyah Wijaya untuk bergabung
dengan pihak ayahnya. Dyah Wijaya yang tadinya unggul dalam menghadapi serangan
pancingan di utara tersebut, kini ganti dikejar-kejar oleh pihak pemberontak.
Hingga akhirnya, dengan jumlah prajurit yang tinggal dua belas orang, ia
berhasil menyeberang ke Madhura untuk meminta bantuan Banyak Wide, adipati
Songeneb yang juga bergelar Arya Wiraraja. Kisah perjalanan Dyah Wijaya ini
tertulis secara lengkap dalam prasasti Kudadu tahun 1294 (selisih dua tahun
saja setelah Singhasari runtuh).
Banyak Wide pun memberikan
jaminan, sehingga Sri Jayakatwang bersedia menerima Dyah Wijaya yang pura-pura
menyerah. Selanjutnya, Dyah Wijaya mendapatkan sebidang tanah di Hutan Tarik
untuk kemudian dibuka menjadi permukiman bernama Majapahit.
Pada tahun 1293 datanglah
pasukan Dinasti Yuan yang dikirim oleh Kaisar Shizu alias Khubilai Khan.
Pasukan ini dipimpin oleh Shi Bi, Yighmis, dan Gao Xing. Kedatangan mereka
bertujuan untuk menaklukkan Sri Kertanagara raja Tumapel agar tunduk kepada Dinasti
Yuan. Dyah Wijaya pun memanfaatkan kedatangan mereka. Dengan mengaku sebagai
ahli waris Sri Kertanagara, ia bersedia menyatakan tunduk kepada Kaisar Shizu,
namun terlebih dulu pasukan Dinasti Yuan harus membantunya untuk merdeka dari
kekuasaan Sri Jayakatwang yang kini beristana di kota Daha.
Maka, pasukan Dinasti Yuan dan
Majapahit pun bergabung menyerang kota Daha dan berhasil mengalahkan Sri
Jayakatwang. Akan tetapi, Dyah Wijaya kemudian berbalik menghantam pasukan asing
tersebut dari belakang. Setelah kehilangan 15% total prajurit, Shi Bi pun
menarik mundur pasukannya kembali ke Tiongkok. Kisah kegagalan Dinasti Yuan
dalam usaha menaklukkan Tanah Jawa ini tercatat dengan rinci dalam naskah
Yuanshi.
Dyah Wijaya kini telah
merdeka. Ia pun meresmikan Majapahit menjadi kerajaan penerus Tumapel, di mana dirinya
sebagai raja pertama bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Sesuai perjanjian
di awal, ia pun memberikan setengah wilayah kerajaan kepada Banyak Wide alias
Arya Wiraraja yang dianggap sangat berjasa dalam pendirian Kerajaan Majapahit.
RIWAYAT JAKA SESURUH, PENDIRI
MAJAPAHIT VERSI FANTASI
Berikut ini adalah riwayat
berdirinya Majapahit dari sumber Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah turunannya
:
Raja Pajajaran bernama Sri
Pamekas memiliki dua putra, yaitu Arya Bangah (raja Galuh) dan Raden Sesuruh (putra
mahkota Pajajaran). Pada suatu hari ia menguji seorang petapa bernama Ki Ajar
Cepaka yang terkenal sakti. Salah seorang selirnya didandani seperti orang
hamil dan ditanyakan apakah anaknya nanti lahir laki-laki ataukah perempuan? Ki
Ajar Cepaka menjawab laki-laki. Sri Pamekas merasa senang karena tebakan Ki
Ajar Cepaka salah. Ia pun membuka pakaian selirnya untuk membuktikan bahwa
kandungan tersebut hanyalah bokor yang dibalut kain. Sungguh ajaib, bokor
tersebut tiba-tiba musnah, sedangkan perut sang selir kini benar-benar
mengandung. Sri Pamekas merasa dipermainkan dan ia pun menghukum mati Ki Ajar
Cepaka.
Para ahli nujum meramalkan
bahwa bayi yang dikandung sang selir kelak akan menjadi penyebab kehancuran
raja. Maka ketika bayi itu lahir, Sri Pamekas pun berusaha membunuhnya tetapi selalu
gagal. Usaha terakhir adalah memasukkan bayi itu ke dalam peti, lalu
menghanyutannya di Sungai Krawang, hingga kemudian ditemukan oleh pencari ikan
bernama Ki Buyut Krawang suami-istri.
Beberapa tahun kemudian, bayi
itu telah tumbuh dewasa dan pada suatu hari ia melihat burung siyung dan wanara
(monyet ) di tengah hutan. Maka, pemuda itu pun menamakan dirinya Siyung
Wanara.
Siyung Wanara selalu bertanya
apakah dirinya memiliki saudara. Ki Buyut Krawang terpaksa mengarang cerita
bahwa dirinya memiliki saudara di ibukota Pajajaran yang menjadi pandai besi.
Siyung Wanara pun pergi ke sana dan tinggal di rumah pandai besi tersebut.
Dalam waktu singkat ia mampu mempelajari ilmu menempa besi, bahkan melunakkan
besi dengan jari-jarinya atau menggunakan lutut sebagai alas menempa logam.
Pada suatu hari Siyung Wanara
masuk ke dalam istana Pajajaran dan memamerkan kesaktiannya. Sri Pamekas
tertarik dan menjadikannya sebagai petugas pengadilan. Kesaktian dan prestasi
Siyung Wanara membuatnya semakin disayang raja, bahkan ia pun diakui sebagai
anak oleh Sri Pamekas, serta diberi nama baru : Banyak Wide.
Pada suatu hari Sri Pamekas
menang perang. Banyak Wide alias Siyung Wanara memberikan hadiah berupa tempat
tidur besi yang dilengkapi pintu. Ia mengatakan bahwa, barangsiapa tidur di
dalamnya akan mendapatkan kesegaran dan kesehatan. Sri Pamekas percaya dan
mencobanya. Banyak Wide tiba-tiba mengunci pintu tempat tidur tersebut dan
menenggelamkannya di Sungai Krawang sebagai balas dendam atas peristiwa yang
dialaminya semasa bayi dahulu.
Mengetahui ayahnya tewas,
Raden Sesuruh datang menyerang Banyak Wide. Dalam pertempuran itu Raden Sesuruh
kalah dan melarikan diri ke timur. Ia lalu ditampung seorang janda bernama Nyai
Randa Kaligunting. Sementara itu, Banyak Wide alias Siyung Wanara yang telah
menjadi raja mengumumkan akan menghukum mati siapa saja warga Pajajaran yang berani
melindungi Raden Sesuruh. Nyai Randa Kaligunting ketakutan, lalu mengajak Raden
Sesuruh pindah ke timur, keluar dari wilayah Pajajaran.
Dalam perjalanannya, Raden
Sesuruh berjumpa petapa sakti bernama Ki Ajar Cemaratunggal di Gunung Kombang. Petapa
itu meramalkan bahwa Raden Sesuruh akan menjadi raja besar jika menemukan pohon
maja berbuah satu di wilayah timur yang rasanya pahit. Setelah meramalkan
demikian, Ki Ajar Cemaratunggal berubah menjadi wanita cantik. Raden Sesuruh terpesona
dan ingin menjadikannya istri. Wanita cantik itu musnah dan berkata bahwa ia
sesungguhnya putri Pajajaran yang hidup di zaman Prabu Mundingwangi (kakek
Raden Sesuruh). Kini ia akan pindah ke Laut Selatan dan menjadi ratu segenap
makhluk halus di sana.
Raden Sesuruh meminta maaf
atas kelancangannya dan ia pun melanjutkan perjalanan ke timur hingga memasuki
wilayah Kerajaan Singasari. Di sana ia menemukan pohon maja berbuah satu yang
rasanya pahit. Maka, ia segera membangun sebuah pedukuhan bernama Majapahit di
tempat itu dan mengganti namanya menjadi Jaka Sesuruh.
Pada suatu hari Jaka Sesuruh
menerima kedatangan kakaknya, yaitu Arya Bangah yang melaporkan bahwa Banyak
Wide alias Siyung Wanara telah merebut Kerajaan Galuh dari tangannya. Jaka
Sesuruh dan Arya Bangah lalu bergabung menggempur Kerajaan Pajajaran. Banyak
Wide dapat dikalahkan. Jaka Sesuruh pun menjadi raja Pajajaran dan memindahkan
pusat pemerintahannya ke Majapahit.
SASTRA KERATON SEBAGAI SARANA LEGITIMASI
RAJA
Kitab Babad Tanah Jawi yang
memuat riwayat Jaka Sesuruh ditulis pertama kali tahun 1718 oleh Pangeran
Adilangu II, pujangga Keraton Kartasura. Dengan demikian, naskah ini disusun setelah
Majapahit runtuh hampir dua abad. Itu sebabnya jalan ceritanya sangat berbeda
dengan naskah Pararaton, Nagarakretagama, ataupun prasasti Kudadu. Misalnya,
tokoh Banyak Wide dalam Pararaton adalah sekutu pendiri Majapahit, sedangkan
dalam Babad Tanah Jawi justru disebut sebagai musuh Majapahit.
Begitulah, pada abad ke-18
belum ada studi tentang prasasti dan kakawin, sehingga sejarah Majapahit
menjadi kabur dan gelap. Maka, disusunlah kitab sejarah berdasarkan fantasi
pujangga yang bermakna simbolis, bukan berdasarkan hasil studi arkeologi
ataupun filologi.
G. Moedjanto dalam bukunya
“Konsep Kekuasaan Raja Jawa” tahun 1987 menyebutkan bahwa penulisan Babad Tanah
Jawi bertujuan untuk menciptakan wibawa Dinasti Mataram yang keturunan kaum
petani agar bisa mendapatkan legitimasi sebagai penguasa resmi Tanah Jawa. Untuk
itu, disusunlah silsilah bahwa Mataram adalah keturunan Majapahit, sedangkan
Majapahit adalah kelanjutan Pajajaran, Pajajaran adalah kelanjutan Jenggala,
Jenggala adalah kelanjutan Medang Koripan, Medang Koripan adalah kelanjutan
Pengging, Pengging adalah kelanjutan Kediri, dan Kediri adalah keturunan Arjuna
(Pandawa) yang sudah “dijawakan”. Tujuannya ialah untuk “pencitraan” bahwa
raja-raja Mataram adalah penguasa sah Tanah Jawa karena memiliki darah Majapahit,
darah Pajajaran, darah Jenggala, darah Pengging, darah Kediri, bahkan darah Pandawa
dari kisah Mahabharata segala.
Babad Tanah Jawi dan
turunannya dengan cerdik menyusun silsilah ke atas dengan cara merangkai
legenda-legenda Tanah Jawa menjadi satu kesatuan yang urut. Misalnya, cerita Panji,
legenda Anglingdarma, kisah Watugunung, dan juga dongeng Pakukuhan. Bahkan, para
pujangga juga “meminjam” legenda-legenda dari Tatar Sunda. Mengapa demikian? Karena
pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Galuh telah menjadi kadipaten
bawahan Mataram, sehingga secara otomatis terjadilah pertukaran budaya Jawa –
Sunda. Banyak sekali cerita legenda dari Tatar Sunda yang kemudian diadopsi
pujangga Jawa untuk memperkaya khasanah sastra keraton.
Mengapa saya berkata demikian?
Karena nama-nama seperti Siyung Wanara, Arya Bangah, dan Jaka Sesuruh yang
telah kita baca di atas sesungguhnya adalah nama-nama tokoh cerita tradisional
Sunda. Siyung Wanara adalah versi Jawa untuk Ciung Wanara; Arya Bangah adalah
versi Jawa untuk Hariang Banga; sedangkan Jaka Sesuruh mengadopsi tokoh legenda
dari Kabupaten Ciamis, yaitu Jaka Susuru.
Dengan kata lain, penulis
Babad Tanah Jawi tidak mengetahui fakta historis berdirinya Kerajaan Majapahit sehingga
meminjam beberapa cerita tradisional Sunda untuk melengkapinya. Hal ini dapat
dimaklumi, karena naskah-naskah kakawin seperti Nagarakretagama dan Pararaton telah
“diamankan” ke Pulau Bali pasca runtuhnya Majapahit tahun 1527. Hal ini sempat
disinggung Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, The History of Java.
Bagaimana cerita-cerita
tradisional dari Sunda tersebut, marilah kita simak rangkumannya berikut ini …
LEGENDA CIUNG WANARA DAN
HARIANG BANGA VERSI SUNDA
Prabu Permanadikusumah raja Medangkamulyan
di Bumi Galuh pergi bertapa dan menyerahkan takhta kepada Patih Aria Kebonan.
Sebelum berangkat, sang raja berpesan bahwa Patih Aria Kebonan boleh menjadi
raja tetapi tidak boleh menyentuh kedua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan
Dewi Pangrenyep. Patih Aria Kebonan menyanggupi dan ia pun naik takhta bergelar
Prabu Barma Wijaya. Akan tetapi, raja baru tersebut mengingkari janji, karena
ia berani berselingkuh dengan Dewi Pangrenyep hingga mengandung.
Pada suatu hari terdengar
kabar adanya petapa sakti di Gunung Padang bernama Ajar Sukaresi. Prabu Barma
Wijaya penasaran ingin menguji kesaktian petapa itu. Dewi Naganingrum pun didandani
seperti orang hamil untuk kemudian dibawa ke Gunung Padang. Prabu Barma Wijaya
lalu bertanya kepada Ajar Sukaresi kelak Dewi Naganingrum melahirkan laki-laki
atau perempuan. Ajar Sukaresi menjawab laki-laki. Mendengar itu, Prabu Barma
Wijaya tertawa senang dan menuduh Ajar Sukaresi seorang petapa palsu.
Tak disangka, ternyata Dewi
Naganingrum benar-benar hamil, dan bukan kehamilan palsu. Prabu Barma Wijaya
murka dan membunuh Ajar Sukaresi. Adapun Ajar Sukaresi tidak lain adalah Prabu
Permanadikusumah yang telah menjadi petapa. Sebelum meninggal ia mengutuk bahwa
kelak bayi yang dikandung Dewi Naganingrum akan mengalahkan Prabu Barma Wijaya.
Setelah mengutuk demikian, arwah Ajar Sukaresi alias Prabu Permanadikusumah berubah
wujud menjadi seekor naga bernama Nagawiru.
Ketika waktunya tiba, Dewi
Pangrenyep melahirkan putra hasil perselingkuhannya dengan Prabu Barma Wijaya
yang diberi nama Hariangbanga. Sementara itu, Dewi Naganingrum juga melahirkan
bayi laki-laki namun segera ditukar Dewi Pangrenyep dengan anak anjing. Kemudian
Prabu Barma Wijaya menghanyutkan bayi tersebut dalam keranjang di Sungai
Citanduy dengan disertai sebutir telur, karena ia takut pada kutukan Ajar
Sukaresi.
Prabu Barma Wijaya lalu
mengumumkan kepada rakyat bahwa Dewi Naganingrum telah melahirkan anak anjing
yang merupakan kutukan dewa, sehingga pantas untuk dihukum mati. Penasihat raja
yaitu Ki Lengser ditugasi membunuh Dewi Naganingrum tetapi tidak tega
melakukannya. Dewi Naganingrum pun disembunyikan dalam hutan, kemudian Ki Lengser
melapor kepada Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep bahwa tugasnya telah
dilaksanakan.
Sementara itu, bayi laki-laki
yang dilahirkan Dewi Naganingrum ditemukan pencari ikan bernama Aki
Balagantrang dan istrinya di Desa Gegersunten. Mereka sangat senang dan
menjadikan bayi itu sebagai anak angkat. Adapun telur yang menyertai si bayi
diserahkan kepada Nagawiru di Gunung Padang untuk dierami.
Waktu berlalu, si bayi telah
tumbuh menjadi pemuda, sedangkan si telur telah menetas menjadi seekor ayam jantan.
Pada suatu hari Aki Balagantrang mengajak anak angkatnya itu berburu di hutan
dan mereka melihat seekor burung ciung dan seekor wanara (monyet). Karena
tertarik melihat kedua binatang tersebut, si pemuda pun menamakan dirinya
sendiri, Ciung Wanara.
Ciung Wanara kemudian membawa
ayamnya pergi ke ibu kota Medangkamulyan. Kedatangannya menarik perhatian dua
orang patih bernama Purawesi dan Puragading yang juga memelihara ayam. Mereka
pun menantang Ciung Wanara menyabung ayam. Namun, dalam adu jago tersebut, ayam
milik kedua patih itu tewas melawan ayam milik Ciung Wanara.
Berita ini sampai kepada Prabu
Barma Wijaya. Ia pun tertarik untuk menyabung ayam dengan Ciung Wanara. Jika
ayam miliknya kalah, maka Ciung Wanara akan diangkat sebagai anak dan mendapatkan
setengah wilayah kerajaan. Sebaliknya, jika ayam milik Ciung Wanara kalah, maka
pemuda itu harus dibunuh sebagai hukuman atas kelancangannya.
Pertandingan sabung ayam pun
berlangsung seru. Mula-mula ayam milik Ciung Wanara terdesak. Tiba-tiba Nagawiru
datang dan diam-diam merasuki ayam tersebut sehingga kekuatannya pulih dan
berhasil mengalahkan ayam milik Prabu Barma Wijaya.
Prabu Barma Wijaya terpaksa
menepati janjinya. Ia pun memberikan setengah Kerajaan Medangkamulyan kepada
Ciung Wanara. Sedikit demi sedikit riwayat masa lalu Ciung Wanara terkuak pula
oleh Ki Lengser. Ia lalu mempertemukan Ciung Wanara dengan ibu kandungnya,
yaitu Dewi Naganingrum yang disembunyikan di dalam hutan.
Ciung Wanara lalu membalas
kejahatan Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep. Keduanya dijebak sehingga
masuk ke dalam penjara besi yang dibangun oleh Ciung Wanara. Mendengar kedua
orang tuanya dikurung, Hariangbanga pun datang menyerang Ciung Wanara.
Terjadilah pertarungan di antara mereka. Ciung Wanara berhasil menangkap
Hariangbanga lalu melemparkan tubuhnya hingga menyeberangi Sungai Cipamali.
LEGENDA JAKA SUSURU VERSI
SUNDA
Demikianlah kisah Ciung Wanara
dan Hariangbanga menurut versi Sunda. Lalu bagaimana dengan kisah Jaka Susuru?
Ternyata Jaka Susuru adalah tokoh lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan
Ciung Wanara dan Hariangbanga. Berikut mari kita simak rangkumannya.
Prabu Siliwangi VII raja Pakuan
Pajajaran memberikan sebidang tanah di Hutan Pasagi Wetan kepada putranya yang bernama
Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi. Maka berangkatlah sang pangeran dengan ditemani
dua punggawa, yaitu Tumenggung Sewana Guru dan Tumenggung Sewana Giri. Setelah
mencipta istana megah lengkap dengan prajuritnya di hutan tersebut menggunakan
pusaka Jimat Makuta Siger Kencana, sang pangeran lalu melapor kepada ayahnya di
Pakuan Pajajaran.
Prabu Siliwangi VII berkenan
mendengarnya dan mengangkat Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi sebagai raja
di istana baru tersebut, bergelar Prabu Jaka Susuru, sedangkan negaranya
disebut Tanjung Singuru. Adapun kedua tumenggung tadi diangkat pula sebagai
patih di sana.
Setelah menjadi raja, Prabu
Jaka Susuru menikahi dua orang putri Prabu Jungjang Buana dari Kerajaan Bitung
Wulung, yaitu Sekar Jayanti dan Jayanti Kembang. Berita ini terdengar oleh Raja
Gunung Gumuruh yang dulunya ingin menikahi Sekar Jayanti tetapi ditolak. Raja
Gunung Gumuruh lalu datang ke Tanjung Singuru dan pura-pura mengundang Prabu
Jaka Susuru untuk melihat intan sebesar kepala kerbau yang ia simpan di dasar
Kawah Domas.
Prabu Jaka Susuru menerima
undangan tersebut dengan disertai Patih Sewana Guru dan Patih Sewana Giri.
Ketika mereka menengok ke dalam Kawah Domas, Raja Gunung Gumuruh menendang sehingga
ketiganya pun jatuh tercebur ke dalam kawah. Raja Gunung Gumuruh lalu menutup
kawah itu dengan batu besar sehingga Prabu Jaka Susuru dan kedua patihnya
terkurung di dalam.
Sekar Jayanti dan Jayanti
Kembang yang masing-masing telah mengandung anak Prabu Jaka Susuru melarikan
diri dari kejaran Raja Gunung Gumuruh. Kedua wanita itu lalu melahirkan di
dalam hutan. Sekar Jayanti melahirkan putra bernama Heulang Boengbang Legantara Lungguh Tapa Jaya Perang, sedangkan Jayanti
Kembang melahirkan putra bernama Kebo Keremay Sakti Pangeran Giringsing Wyang.
Sepuluh tahun kemudian kedua wanita itu beserta anak-anak mereka
mengungsi ke Kerajaan Tanjung Sumbara, meminta perlindungan Prabu Gajah
Karumasakti. Mengetahui bahwa mereka adalah menantu Prabu Siliwangi VII, Prabu
Gajah Karumasakti pun bersedia membantu. Ia lalu menyerang Kerajaan Tanjung
Singuru dan berhasil mengalahkan Raja Gunung Gumuruh.
Raja Gunung Gumuruh bertobat dan ia kemudian membebaskan Prabu Jaka
Susuru beserta kedua patihnya dari dalam penjara Kawah Domas. Prabu Jaka Susuru
kembali bertakhta dan membawahi Prabu Gajah Karumasakti serta Raja Gunung
Gumuruh.
NASKAH WANGSAKERTA DAN POLEMIK
LEMBU TAL
Pada abad ke-20 ditemukan
naskah berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara. Naskah ini terkenal pula
dengan istilah Naskah Wangsakerta, karena konon ditulis oleh panitia yang dipimpin
Pangeran Wangsakerta dari Cirebon. Adapun tahun penulisannya menurut mukadimah naskah
tersebut adalah pada 1604 Saka atau 1682 Masehi.
Yang menjadi polemik dalam
naskah ini adalah tentang pendiri Majapahit, yaitu Rahadyan Wijaya yang disebut
sebagai putra pasangan Rakeyan Jayadarma dari Kerajaan Sunda Galuh dengan Dyah
Lembu Tal dari Kerajaan Singhasari. Dengan kata lain, Dyah Lembu Tal disebut
sebagai wanita yang memiliki nama lain Dewi Singhamurti. Anehnya, naskah
tersebut secara tidak konsisten menyebut Dewi Singhamurti adalah putri Mahisa
Campaka pada halaman 58, tapi kemudian berubah pada halaman 60, yaitu Mahisa
Campaka disebut sebagai mertua Dewi Singhamurti.
Sebagian para ahli sejarah menyatakan
bahwa Naskah Wangsakerta bukan naskah kuno, tetapi karya tulis modern dari abad
ke-20 yang menggunakan bahasa Jawa Kuno, bahkan terlalu kuno untuk ukuran abad
ke-17. Isi dari naskah tersebut juga memiliki banyak kemiripan dengan hasil
penelitian de Casparis, N.J. Krom, ataupun E. Dubois. Selain itu, lembaran
naskah tersebut setelah digosok luntur warnanya dan setelah diamati ternyata merupakan
kertas manila yang diolah dengan semacam zat kimia supaya menyerupai kertas
kuno. Dengan demikian, itu berarti Naskah Wangsakerta tidak lebih tua daripada
Babad Tanah Jawi, tetapi justru lebih muda usianya.
Naskah Wangsakerta yang
menyebutkan bahwa Raden Wijaya adalah putra Sunda kiranya terinspirasi oleh kisah
Jaka Sesuruh yang disebut berasal dari Pajajaran menurut Babad Tanah Jawi.
Kisah tersebut kemudian diolah dan dipadukan dengan berita dari naskah kuno
Carita Parahyangan. Perlu diketahui, bahwa dalam Carita Parahyangan sama sekali
tidak disinggung soal Raden Wijaya. Itu artinya, satu-satunya naskah yang
menyebut bahwa Raden Wijaya putra Sunda adalah Naskah Wangsakerta yang
kontroversial tersebut.
Babad Tanah Jawi mengisahkan Jaka
Sesuruh menyingkir ke timur meninggalkan Pajajaran menuju Singasari dibantu seorang
janda bernama Nyai Randa Kaligunting. Maka, si penulis Naskah Wangsakerta pun memodifikasi
kisah ini dengan menyebutkan bahwa setelah Rakeyan Jayadarma meninggal, Dyah
Lembu Tal menjadi janda dan membawa Raden Wijaya meninggalkan Sunda Galuh
menuju ke Singhasari. Dengan kata lain, Jaka Sesuruh ditafsirkan menjadi Raden
Wijaya, sedangkan Nyai Randa Kaligunting ditafsirkan menjadi Dyah Lembu Tal.
Sungguh mengagumkan, penulis
Naskah Wangsakerta sangat jenius karena imajinasinya yang mampu meramu berita
sejarah dari berbagai sumber dan merangkainya kembali menjadi satu urutan
menggunakan bahasa Jawa Kuno, dengan mencatut nama Pangeran Wangsakerta sebagai
penulisnya. Sayang sekali, usahanya ini justru mengundang kecurigaan karena
bahasa dalam naskah tersebut terlalu kuno untuk ukuran abad ke-17. Bukankah
pada pembukaan Naskah Wangsakerta tertulis bahwa naskah itu disusun pada tahun
1682, tapi mengapa bahasa yang digunakan berasal dari abad ke-14? Selain itu,
pada lembaran-lembaran Naskah Wangsakerta juga terdapat bekas tulisan pensil
yang dihapus dengan penghapus karet kemudian ditindih tinta, suatu hal yang
tidak mungkin dilakukan oleh Pangeran Wangsakerta.
Dengan demikian, penulis
Naskah Wangsakerta adalah sejarawan abad ke-20 yang telah mempelajari hasil
penelitian para ahli seperti de Casparis, N.J. Krom, E. Dubois, dan sebagainya,
lalu memadukannya dengan Pararaton, Nagarakretagama, Carita Parahyangan, dan
Babad Tanah Jawi, menjadi sebuah naskah sejarah berbahasa Jawa Kuno, dengan
mencatut nama Pangeran Wangsakerta yang merupakan pakar sejarah dari Kesultanan
Cirebon abad ke-17.
Naskah Wangsakerta dengan
berani menyebut Dyah Lembu Tal sebagai wanita, namun kurang konsisten karena di
halaman 58 ia disebut sebagai putri Mahisa Campaka, tetapi di halaman 60
ditulis sebagai menantu Mahisa Campaka. Pada halaman 58 bunyinya seperti ini :
“déwi singhamurti ngaranira yata putrining mahisa campaka mituhu sang mahākawi
jawa ikang déwi singhamurti ngaranira dyah lembu tal sakéng pakurenira déwi
singhamurti lawan rakryan jayadarma manak ta sira sang nararya
sanggramawijaya”. Sedangkan dalam halaman 60 demikian bunyinya : “déwi
singhamurti lawan putranira yatiku radén wijaya kala raray wangsuling bhumya
nagaranira hurip lawan ramatuhanira mahisa campaka”.
Sepertinya si penulis terjebak
pada gelar Dyah yang dipakai Lembu Tal. Memang pada zaman modern nama Dyah
identik dengan kaum wanita. Akan tetapi, pada zaman Majapahit sebutan Dyah
adalah gelar kebangsawanan yang bisa dipakai laki-laki atau perempuan. Dalam
sejumlah prasasti peninggalan Majapahit banyak dijumpai nama pangeran dan
pejabat yang bergelar dyah, misalnya Dyah Wijaya, Dyah Halayudha, Dyah Pamasi,
Dyah Puruseswara, Dyah Hayamwuruk, Dyah Ranawijaya, Dyah Kertawijaya, Dyah
Wijayakumara, Dyah Suraprabhawa, dan sebagainya. Itu artinya, gelar dyah dalam
tradisi Jawa Kuno bukan milik kaum wanita saja.
Kemudian mari kita lihat nama
Lembu Tal. Dalam tradisi Jawa nama Lembu, Mahisa, Kebo, Gajah, dan Kuda selalu digunakan
untuk kaum laki-laki sebagai simbol kejantanan. Sebut saja nama Lembu Sora,
Lembu Nala, Lembu Amiluhur, Lembu Amijaya, Mahisa Anabrang, Mahisa Mundarang,
Kebo Hijo, Kebo Kenanga, Kebo Kanigara, Gajah Mada, Gajah Biru, Gajah Pagon,
Kuda Anjampyani, Kuda Amreta dan sebagainya. Semuanya adalah kaum laki-laki. Dengan
demikian, nama Lembu Tal sudah pasti juga laki-laki, karena tidak ada ceritanya
orang Jawa memberikan nama Lembu untuk anak perempuan.
Sekarang mari kita cari naskah
mana yang mula-mula menyebut nama Dyah Lembu Tal, yang diubah jenis kelaminnya
oleh penulis Naskah Wangsakerta itu. Dalam kakawin Nagarakretagama bait ke-174
karya Prapanca, kita jumpai kalimat sebagai berikut :
“sri narasinghamurttyaweka ri
dyah lembu tal susrama sang wireng laga dhinarmma ri mireng boddha pratista
pageh”
Kalimat tersebut diterjemahkan
oleh Prof. Ketut Riana sebagai berikut : “Sri Narasinghamurti ayah Dyah Lembu
Tal yang terpuji, pemberani dalam pertempuran diabadikan di mireng dalam wujud
arca Buddha”.
Terjemahan ini dimanfaatkan oleh
para pendukung Naskah Wangsakerta bahwa tokoh yang dipuji Prapanca sebagai
“pemberani dalam pertempuran” adalah Narasinghamurti (Mahisa Campaka), bukan
Lembu Tal.
Sayang sekali, terjemahan
Prof. Ketut Riana tersebut sedikit keliru, karena kata “aweka” artinya adalah
“berputra”, bukan “ayah”. Sehingga, kalimat “sri narasinghamurttyaweka ri dyah
lembu tal” harusnya diterjemahkan “Sri Narasinghamurti berputra Dyah Lembu
Tal”, bukan diterjemahkan “Sri Narasinghamurti ayah Dyah Lembu Tal”.
Maka, kalimat terjemahan
selengkapnya yang lebih tepat adalah : “Sri Narasinghamurti berputra Dyah Lembu
Tal terpuji yang pemberani dalam pertarungan dan didharmakan di Mireng dengan
arca Buddha ditegakkan di sana.”
Dengan demikian, pujian “sang
wireng laga” ditujukan untuk Dyah Lembu Tal, bukan untuk Sri Narasinghamurti.
Itu artinya, Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, karena Prapanca dalam
Nagarakrtagama lebih suka memuji para wanita dalam hal kecantikannya, bukan
keberaniannya.
KESIMPULAN
Babad Tanah Jawi disusun oleh
pujangga Keraton Kartasura untuk melegitimasi kekuasaan Pakubuwana I sebagai pemimpin
sah Dinasti Mataram pasca-perang saudara melawan Amangkurat III. Disebutkan dalam
naskah itu bahwa Mataram adalah kelanjutan Majapahit, Pajajaran, Jenggala,
Medang Koripan, Pengging, Kediri, bahkan Hastinapura yang sudah “dijawakan”.
Berita ini hendaknya dimaknai secara simbolis, bukan dimaknai sebagai fakta.
Sesungguhnya maksud dari penyusunan silsilah ini adalah untuk mengumumkan bahwa
Dinasti Mataram meskipun keturunan petani tapi memiliki darah raja-raja
Majapahit, Pajajaran, Jenggala, Pengging, Kediri, dan seterusnya ke atas,
sehingga mereka berhak dan pantas memimpin Tanah Jawa.
Berita tentang Jaka Sesuruh
pangeran Pajajaran yang mengungsi ke timur bersama Nyai Randa Kaligunting dalam
Babad Tanah Jawi diolah sedemikian rupa dalam Naskah Wangsakerta menjadi Raden
Wijaya putra Sunda yang mengungsi ke timur bersama Dyah Lembu Tal sang janda. Naskah
ini diberi angka tahun 1682 sehingga seolah-olah lebih tua daripada Babad Tanah
Jawi, padahal sebenarnya ditulis pada abad ke-20 memakai bahasa Jawa Kuno. Berita
ini akhirnya menjadi polemik dan kontroversi, seakan-akan Babad Tanah Jawi
membenarkan berita Naskah Wangsakerta.
Padahal, berita bahwa
Majapahit adalah kelanjutan Pajajaran dalam Babad Tanah Jawi hendaknya dimaknai
secara politis, bukan dimaknai secara historis, karena sang pujangga keraton jelas-jelas
mencatut legenda pantun Sunda, yaitu Jaka Susuru, pendiri Kerajaan Tanjung
Singuru (yang saat ini dikenal sebagai Bojong Singuru di Kabupaten Ciamis), dan
mengubah namanya menjadi Jaka Sesuruh.
Dengan demikian, perlu
dipertegas bahwa pendiri Kerajaan Majapahit yang benar sesuai sumber prasasti
dan kakawin adalah Dyah Wijaya, bukan Jaka Sesuruh. Untuk selanjutnya, alangkah
baiknya untuk tidak lagi menyama-nyamakan Jaka Sesuruh dengan Dyah Wijaya,
karena itu sama artinya dengan mencampuradukkan antara versi fantasi dengan
versi historis.