8 Jul 2013

Ki Nartosabdo Seniman Legendaris


Saat masih duduk di bangku SMP sampai kuliah dulu, saya punya hobi mendengarkan siaran radio berupa pemutaran rekaman atau live pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Biasanya yang rutin memutar dan menyiarkan adalah Radio Khusus Informasi Pertanian Wonocolo Surabaya setiap malam Jumat, malam Sabtu, dan malam Minggu. Khusus pemutaran di malam Sabtu adalah yang paling saya nanti-nantikan, karena biasanya yang disiarkan adalah rekaman pentas dalang legendaris Almarhum Ki Nartosabdo.

Bagi saya, Ki Nartosabdo adalah seniman luar biasa yang belum tergantikan sampai saat ini. Bahkan dalang kondang kelas dunia Ki Manteb Soedharsono yang merupakan murid almarhum juga mengakui demikian. Tidak hanya di bidang pedalangan di mana ia sangat mahir dalam olah sastra dan dramatisasi, dalam hal lagu-lagu dan gending-gending ciptaannya pun seakan tak lekang oleh zaman. Di tengah pesatnya informasi dan maraknya lagu-lagu yang dibilang “moderen”, lagu-lagu ciptaan Ki Nartosabdo tetap mendapatkan tempat. Sebut saja lagu “Gambang Suling” yang diajarkan di bangku sekolah, ataupun lagu “Prahu Layar” yang hampir setiap penyanyi dangdut bisa menyanyikannya.

Ki Nartosabdo lahir di Klaten, 25 Agustus 1925 dengan nama asli Sunarto. Ia merupakan bungsu dari delapan bersaudara pasangan Partotanayo dan Madiah. Ayahnya seorang pengrawit, dan ibunya seorang mranggi atau pembuat warangka keris. Sejak berusia sebelas tahun Sunarto telah mampu memainkan rebab, kendang, dan gender. Kehidupan masa kecilnya yang serbasulit membuat Sunarto putus sekolah dan hanya sampai kelas empat saja pada pendidikan formalnya, yaitu Standaard School Muhammadiyah atau SD lima tahun.

Berbekal bakat seni yang ia miliki, Sunarto berusaha membantu perekonomian keluarga. Antara lain ia pernah menjadi pelukis, juga menjadi pemain biola dalam Orkes Keroncong Sinar Purnama. Bakat seni yang semakin berkembang itu membuatnya dapat melanjutkan sekolah di Lembaga Pendidikan Katolik.

Pada 1940 sampai 1942 Sunarto bergabung dengan grup Ketoprak Budi Langen Wanodya. Kemudian pada 1945 ia menjadi pemain kendang pada grup Sri Wandawa, lalu bergabung dengan grup Wayang Orang Ngesti Pandhowo pimpinan Ki Sastrosabdo. Sejak itulah Sunarto mengenal dunia pedalangan dari Ki Sastrosabdo sebagai gurunya. Bahkan karena jasa-jasanya membuat banyak kreasi baru di dalam grup tersebut, Ki Sastrosabdo mengganti nama Sunarto menjadi Nartosabdo pada 1948.

Pada 1950 Nartosabdo menikah dengan Tumini dan memiliki seorang anak bernama Jarot Sabdono.

Selain belajar dari Ki Sastrosabdo, Nartosabdo juga belajar seni pedalangan dari Ki Gitocarito, seorang dalang ternama dari Sukoharjo yang bermukim di Semarang. Selain itu ia juga belajar mendalang pada Ki Pujosumarto dari Klaten dan Ki Wignyo Sutarno dari Surakarta. Dari guru yang disebut terakhir, Ki Nartosabdo banyak belajar mengenai dramatika pewayangan atau yang biasa disebut sanggit.


Meskipun berasal dari Jawa Tengah, namun Ki Nartosabdo tampil pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK yang disirakan secara langsung oleh RRI pada 28 April 1958. Lakon yang ia bawakan kala itu adalah Kresna Duta. Pengalaman pertama mendalang itu konon sempat membuat Ki Nartosabdo demam panggung. Bagaimana tidak? Saat itu profesinya adalah pengendang, namun ia didorong oleh Sukiman, Kepala Studio RRI untuk menampilkan kemampuan mendalangnya.

Penampilan perdana itu justru membuat Ki Nartosabdo mendapat tempat di hati masyarakat pecinta wayang kulit. Berturut-turut ia pun mendapatkan kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogyakarta, dan sebagainya. Lahir pula cerita atau lakon-lakon gubahannya, seperti Dasagriwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Bagawan Sendanggarba.

Ki Nartosabddo saat itu boleh dikata sebagai pembaharu dunia pedalangan. Ia banyak melanggar pakem antara lain berani menampilkan dialog bersifat humor sebagai selingan pada adegan jejer pertama atau keratonan, padahal biasanya kaku dan formal. Banyak dalang senior mengkritik penampilannya, bahkan ada studio RRI di salah satu kota yang memboikot hasil karyanya. Namun demikian, tidak sedikit dalang muda yang mendukung dan menirunya.

Dalam hal menciptakan lagu, syair yang disusun Ki Nartosabdo banyak memuat nasihat, filosofi, dan pelajaran hidup. Tidak heran bila Presiden Sukarno kala itu menjadikan Ki Nartosabdo sebagai dalang kesayangannya. Meskipun menganut gaya Surakarta, Ki Nartosabdo tidak melulu fanatik dengan gaya tersebut. Dalam setiap pementasannya, tidak jarang ia membawakan pedalangan gaya Yogyakarta atau Banyumasan. Bahkan, ia juga sering mengkombinasikan kedua gaya yang “berseteru” tersebut.

Ki Nartosabdo juga mendirikan grup Karawitan “Condong Raos” sebagai wadah kreasinya. Sebanyak 319 judul lagu telah ia ciptakan dan sampai sekarang pun masih tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Lagu-lagu yang lazim disebut Gending Nartosabdan itu juga banyak dipakai para dalang lain yang sepaham dengannya untuk dimasukkan ke dalam pementasan mereka.


Di antara lagu-lagu Nartosabdan tersebut ada satu judul yang membuat saya berdecak kagum. Gending tersebut berjudul Kekudhangan. Coba perhatikan syairnya berikut ini:

KI-nudhang-kudhang tansah bisa leladi
NAR-buka rasa tentrem angayomi
TA-ta susila dari tepa tuladha
SAB-abe dek iku sarawungan kudu
DA-di srana murih guna kaya luwih
NG-rawuhi luhuring kabudayan
TI-nulad sakehing bangsa manca
RAH-ayu sedya angembang rembaka

Sengaja suku kata pertama dalam setiap baris pada lagu di atas saya pisah supaya mudah dibaca menjadi Ki Nartasabda-Ngatirah. Seni menyembuyikan nama dalam lagu ini disebut sebagai Sandiasma. Mari kita pikirkan, membuat lagu itu tidak mudah, apalagi lagu yang sifatnya nasihat pergaulan seperti di atas. Ditambah lagi dengan teknik menyembunyikan nama pengarang, tentu tidak berlebihan kalau dikatakan istimewa.

Sayang sekali saya belum pernah melihat penampilan Ki Nartosabdo secara utuh karena umur saya masih kecil sewaktu Beliau meninggal dunia pada 7 November 1985 dalam usia 60 tahun. Saat jenazah diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Anggrek No. 10, Semarang, konon lagu yang mengiringinya adalah Gending Lelayu yang diciptakan Ki Nartosabdo menjelang kematiannya.

"Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya."